e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

SEMPAT MATI SURI : PERFILMAN INDONESIA BANGUN KEMBALI


Oleh : Indah Febriyani
180310150022


Image result for hari film nasional 2017


Film Indonesia sudah terlalu lama tertidur pulas, lantas di 67 tahun memperingati hari lahirnya Film Nasional Indonesia ini, sudah sejauh manakah kemajuannya ?
Sejarah mencatat bahwa 67 tahun yang lalu, tepat pada 30 Maret 1950 merupakan tonggak penting dari sejarah film Indonesia. Produksi film pertama yang berjudul “Darah dan Doa” atau “The Long March of Siliwangi” disutradarai oleh Usmar Ismail melalui PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia) menjadi film pertama yang mengambil cerita dengan latar belakang masyarakat Indonesia. Film ini menceritakan tentang seorang komando tentara yang terjerat cinta lokasi dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia-Belanda dalam sebuah tempat pengungsian. Sejak karya pertamanya itu Usmar Ismail dikenal sebagai Bapak Perfilman Nasional. (Siagian, 2010 : 80).
Setahun setelah berdirinya PERFINI, tepatnya 23 April 1951 didirikan Perseroan Artis Republik Indonesia ( PERSARI) dibawah pimpinan Djamaluddin Malik. Kedua tokoh diatas menjadi pelopor dalam perkembangan film Indonesia saat itu. Namun sangat disayangkan, dalam usia yang masih muda, kedua tokoh tersebut meninggal dunia dan memberi dampak yang buruk bagi PERFINI maupun PERSARI selanjutnya. (Siagian, 2010 : 79).
Pada peringatan Hari Film Nasional tahun ini menjadi momen sejarah bagi insan perfilman tanah air, karena bukan hanya turut merayakan namun juga sebagai tolak ukur sudah sejauh manakah kemajuan perfilman Indonesia disaat krisis moral bangsa ini sedang goyah. Isu-isu SARA yang dilemparkan kehadapan publik seringkali menjadi pembahasan rumit nan sensitif. Berbagai oknum mencoba memecah belah bangsa Indonesia dengan berbagai cara yang licik. Film-Film asing yang berbondong-bondong masuk merebut hati para penikmat film Indonesia sehingga membuat para sineas film Indonesia harus bekerja lebih keras lagi agar mampu bersaing dengan film asing yang sedang menjamur. Film-film asing tersebut menjadi salah satu media untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Disinilah peran penting dari berbagai pihak dibutuhkan, baik yang ada di depan layar seperti artis, aktor maupun dibelakang layar seperti sutradara, produser, tim kreatif dan tim pendukung lainnya yang tentunya menjadi harapan bagi bangsa ini agar memunculkan film-film yang berkualitas.
Indonesia tampaknya membutuhkan film-film yang sarat akan pesan moral didalamnya. Bagaimana tidak, perfilman Indonesia yang sempat vakum, tampaknya bangkit kembali, bisa dilihat dari suksesnya film-film di beberapa tahun belakangan ini, terlebih pada tahun 2000 an yakni semenjak hadirnya “Ada Apa Dengan Cinta” yang mampu merebut hati bangsa Indonesia kala itu. Bahkan di tahun 2016 kemaren, dirilis lah film “Ada Apa Dengan Cinta 2” dengan para pemain yang sama seperti mereka kembali bernostalgia. Sejak saat itu satu persatu film Indonesia bermunculan seperti 5 cm dengan pesan moral ikatan persahabatan, Laskar Pelangi mengisahkan tentang perjuangan, The Raid yang fenomenal hingga Habibie dan Ainun yang di rilis tahun 2012 dengan pengkarakteran tokoh seorang habibie yang begitu menjiwai dari seorang aktor Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari sebagai Ainun, film ini mampu meraih jutaan penonton hanya dalam waktu singkat. Ada juga film Surga yang Tak Dirindukan 2 yang dirilis Februari lalu, dimana pesan moral yang terkandung didalamnya tentang pengorbanan dan keikhlasan dan masih banyak lagi film-film yang belakangan ini mulai muncul dan menghiasi dan memberi warna layar kaca Indonesia.
Meskipun perfilman Indonesia sudah bangun kembali dari tidurnya, tetap saja para insan perfilman harus selalu waspada dengan pengaruh-pengaruh yang ada seperti saat melihat bagaimana antusias bangsa ini yang lebih condong dan berkiblat pada film-film Hollywood. Tidak dapat dipungkiri bahwa daya tarik dari film asing yang masuk dan berjalan bebas di ranah film Indonesia merupakan suatu tamparan keras bagi para sineas film dan orang-orang dibelakangnya. Satu lagi hal yang harus di waspadai oleh bangsa ini yakni fenomena Kpop (Korea Drama) yang mampu merebut hati para remaja bangsa ini. Melalui akses download yang mudah dan gratis, bangsa Korea membuat para pecintanya seperti tersihir dalam hayalan semata.
Tidak dapat dipungkiri bahwa umumnya tidak semua yang tahu bahkan turut serta merayakan Hari Film Nasional ini. Hanya orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap perfilman lah yang tentunya tau dengan peringatan Hari Film Nasional. Namun itu bukan suatu permasalahan besar selama masih adanya antusias masyarakat Indonesia terhadap film buatan negeri sendiri. Kedepannya perfilman Indonesia bisa saja mundur bahkan menjadi lebih buruk jika tidak adanya apresiasi dan dukungan dari bangsa sendiri atau mungkin saja maju dan berkembang dengan baik selama masyarakat Indonesia mau mendukung dan mencintai film nasional, bukankah menjadi suatu hal yang membanggakan saat melihat film-film lokal tumbuh dan berkembang dengan baik dengan segudang penghargaan seperti layaknya film India dengan Bollywood-nya, Amerika dengan Hollywood-nya bahkan Korea dengan Kpopnya.
Film dapat menjadi potret sebuah bangsa dalam mencapai kemajuan kehidupan kebudayaannya, bahkan secara tidak langsung dapat memotret kondisi sosial, politik dan ekonomi masyarakatnya. (Siagian, 2010 : 153)
Selamat Hari Film Nasional !


Sumber :
Siagian, Gayus. 2010. Sejarah Film Indonesia. Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta : Jakarta

0 komentar: