e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

BELENGGU PENJUALAN ORANG DI INDONESIA


Oleh Dani Kusniawan
180310150051


Salah satu dampak dari adanya praktek penjualan orang adalah munculnya perbudakan. Praktik-praktik perbudakan ini muncul akibat adanya penaklukan suatu kelompok oleh kelompok yang lain atas bidang ekonomi dan politik. Secara historis praktik-praktik perbudakan telah terjadi selama berabab-abad tahun yang lalu, seperti contoh pada 1300-an orang-orang kulit hitam Afrika dibeli atau ditangkap dari negara-negara Arab Afrika untuk dijadikan budak selama bertahun-tahun. Pada 1700-an di Amerika perbudakan merupakan suatu hal yang biasadijumpai di keluarga-keluarga kaya dan bukan merupakan suatu kejahatan, bahkan perbudakkan menjadi sistem yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kolonial disana. Hal ini terjadi karena budak merupakan tenaga kerja yang penting untuk mengurus ladang pertanian yang menghasilkan komoditas penting yang diperdagangkan oleh kolonial. Biasanya setiap perkebunan merupakan satu desa kecil yang diisi oleh 200 orang budak dimiliki oleh satu keluarga (Canu, 1953: 55-57).
            Praktik-praktik yang serupa juga terjadi di Indonesia akibat dari adanya kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda. Dalam suatu berita disebutkan para pembesar VOC yang hidup di kota-kota pelabuhan seperti di Batavia memiliki ratusan budak belian untuk melayani hidup mewah mereka. Disebutkan juga pada abad 18, perbudakan menjadi suatu hal yang biasa bahkan budak dijual dalam suatu pelelangan.
            Perbudakan dan penjualan orang mulai dianggap suatu kejahatan diakibatkan munculnya wacana Hak Azasi Manusia (HAM) yang pertama kali muncul di Eropa dan Amerika, dengan mengasilkan beberapa konvensi anti perbudakan dan eksploitasi tenaga manusia yang akhirnya berkembang keseluaruh dunia termasuk ke Indonesia. Akan tetapi realita yang terjadi di lapanga sungguh berbeda, praktik-praktik perbudakan masih berkembang subur di kalangan masyarakat tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia  yang merupakan salah satu negara terbesar di Asia sebagai pengirim tenaga kerja kasar dan pembantu rumah tangga, sangat rawan menjadi korban penjualan orang (Human Trafficking) bagi para tenaga kerja Indonesia (TKI). Korban dari penjualan orang ini tidak mengenal batas gender maupun umur. Hubungan yang terjalin antar pelaku dan korban bisa saling mengenal, tidak kenal, atau diperkenalkan oleh perantara. Pelaku dan korban dapat berupa perorangan, kelompok ataupun masyarakat.
            Faktor-faktor yang  mendukung adanya perdagangan manusia adalah adanya permintaan tenaga kerja di sektor informal yang tidak membutuhkan keterampilan khusus, mau dibayar dengan upah yang murah, dan juga tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit. Kasus-kasus yang sering terja di dalam penjualan orang di Indonesia adalah eksploitasi terhadap buruh migran, ekploitasi seksual, kawin kontrak, pemalsuan dokumen, dan penculikan untuk transpalansi organ tubuh. Bentuk-bentuk eksploitasi tersebut biasanya berawal dari penjeratan hutang, walaupun kenyataannya terdapat modus lain tetapi modus menggunakan penjeratan hutanglah yang sering banyak digunakan. Adapun tujuan perdagangan orang yang dilakukan pelaku yaitu:
·         Eksploitasi pekerja, biasanya korban didominasi oleh pekerja anak-anak dibawah umur, walaupun tak jarang laki-laki dewasa juga menjadi korban. Desakan ekonomi menjadi alasan yang sangat dominan pada kasus ini. Para korban biasanya ditempatkan bekerja sebagai pekerja kasar dalam bidang industri. Contoh kasus yang terkenal dalam eksploitasi pekerja adalah kasus perbudakan sebagai anak buah kapal PT. Pusaka Benjina Resource (PBR) di Maluku. Kasus ini merupakan salah satu kasus penjualan orang secara internasional karena korban tidak hanya berasal dari Indonesia melainkan berasal dari negara-negara Asia Tenggara lain seperti Myanmar dan Thailand. Para korban dipaksa untuk bekerja hampir 24 jam sehari sebagai awak kapal tanpa digaji dengan layak bahkan banyak korban yang meninggal akibat perbudakan ini. Modus yang digunakan oleh pelaku adalah mengiming-imingi pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan bagi para korban.
·         Ekploitasi seksual, korban biasanya adalah perempuan dan remaja putri. Alasan memperbaiki perekonomian dengan dibarengi keinginan hidup konsumtif menjadi faktor yang utama, alasan lain adalah sebagai usaha untuk terlepas dari kemiskinan secara cepat, modus lain adalah pengiriman duta budaya keluar negri. Korban biasanya dijanjikan untuk bekerja di kota besar dengan bayaran yang tinggi akan tetapi dalam kenyataannya korban di jual keluar negri sebagai pekerja seks atau disalurkan kewilayah pedalaman di Indonesia (biasanya di tempat-tempat pertambangan dan perkebunan) untuk dijadikan budak seks. Contoh kasus ini adalah seperti kasus yang dialami oleh Shandra Woworuntu. Ia merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perbudakan seks di Amerika. Modus yang dilakukan oleh pelaku adalah menawarkan pekerjaan sebagai crew hotel dengan gaji yang sangat besar.
·         Perkawinan kontrak
·         Adopsi anak yang biasanya berujung pada transplantasi organ
Dari data yang ada diatas dapat kita ketahui bahwa modus-modus yang digunakan oleh pelaku rata-rata belatar belakang ekonomi seperti menawarkan pekerjaan. Modus lain yang sering digunakan oleh para pelaku adalah melakukan upaya penjeratan kepada korban baik secara terang-terangan maupun secara halus yang berupa cerita-cerita tentang kesuksesan, bantuan ekonomi, memberikan pinjaman yang akhirnya berubah menja dihutang yang mengikat korban. Selain itu, pelaku juga tidak jarang melakukan kerjasama dengan pihak sekolah untuk merekrut pelajar-pelajar sekolah untuk magang di perusahaan yang direkomendasikan pelaku seperti hotel, restauran, yang sebenarnyafiktif.
Dampak dari perdagangan orang ini menimbulkan kerugian secara fisik maupun mental pada korban seperti kegelisahan, depresi, kesepian, rasa curiga, sinisme, dikucilkan dari masyarakat, penyiksaan yang dialami korban selama proses perekrutan, pemindahan, dan ditempat kerja dan lain-lain (Lapian, 2006:61-65).
Pemberantasan perdagangan manusia merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai sampai sekarang ini di Indonesia. Selain karena kasus perdagangan manusia ini melibatkan jaringan yang sangat rapi dalam pengoperasiannya, juga adanya ketidaksadaran korban telah dirugikan oleh pelaku. Kasus seperti ini hanya akan di ketahui jika ada laporan dari korban, keluarga korban, atau lembaga yang peduli terhadap korban penjualang orang. Sehigga kasus ini sebagai fenomena gunung es yang hanya muncul kepermukaan jika ada laporan yang dilakukan. Tak jarang banyak korban yang merasa tidak dirugikan akibat adanya penjualan orang yang dialaminya, dan inilah yang menjadi penghambat dalam memutus rantai perdagangan orang di Indonesia. Beberapa upaya yang dapat digunakan untuk menekan terjadinya perdagangan orang yaitu:
·         Peningkatan kualitas dan pemberdayaan bagi calon korban baik pemahaman keagamaan, moral, pendidikan, dan juga pemberdayaan ekonomi.
·         Pemberdayaan ekonomi keluarga dan masyarakat
·         Pemberdayaan tingkat pendidikan masyarakat
·         Penegakan dan regulasi hukum yang jelas mengenai penjualan orang
·         Kerja sama diantara masyarakat untuk mencegah terjadinya penjualan orang


Daftar Sumber:
Canu,Jean. 1953.SejarahAmerikaSerikat, Pustaka Rakyat: Jakarta
Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia: Jakarta. 
Lapian.Gandhi LM. &Hetty A. Geru. 2006. Trafficking Perempuandan Anak-Anak, Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus Sulawesi Utara. YayasanObor: Jakarta.

3 komentar:

A FREE WILLING PERSON - SOSOK SOE HOK-GIE


Oleh Arif Dwi Hariyanto
180310150018

Foto: www.news.detik.com

Soe Hok-gie adalah orang yang memiliki keturunan Cina yang lahir pada 17 Desember 1942, nama yang tak lepas dari gerakan mahasiswa 1965-1966, yang juga terkenal sebagai penulis, aktivis, dan tokoh pergerakan mahasiswa di zaman Orde Baru. Gie adalah salah satu nama dari semua tokoh tahun 1966 yang namanya yang sering terdengar pada tahun itu.
Gie yang sering ikut dalam berbagai demonstrasi mahasiswa memiliki pengalaman yang banyak, termasuk yang diikuti adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Soe Hok-gie tak termasuk pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, dalam demonstrasi mahasiswanya Gie lebih sering menggerakkan mahasiswa di kampusnya Universitas Indonesia. Karna sering menggerakkan mahasiswa, Gie menjadi perancang sejumlah unjuk rasa pada 1966 sekaligus memimpin demonstrasi kelompok mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakuktas Psikologi  UI Pada saat itu, Gie bersama-sama untuk turun ke jalan dalam demonstrasi mulai awal Januari sampai Maret 1966.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dibentuk pada 25 Oktober 1965. Dalam aksinya, KAMI dibantu Angkatan Darat Republik Indonesia yang tak menyukai Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 12 Januari 1966 mahasiswa meminta bubarkan PKI serta perombakan pemerintahan, dan menurunkan semua harga. Unjuk rasa mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI hingga penurunan harga barang yang menaik lima kali lipat terjadi dimana-mana. Tetapi Gie bukanlah tokoh utama dalam aksi-aksi itu. Gie hanya ikut berdemonstrasi, hanya merancang, bukan Gie yang memimpin justru pemimpin organisasi kampuslah yang berada di depan.
Selama Januari sampai Maret 1966, banyak sekali ide yang sangat jenius Gie dan Herman (Ketua Senat Fakultas Sastra). Salah satu ide tersebut adalah mahasiswi meletakkan bunga di ujung senapan agar para anggota pasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diam dan teringat pada keluarga dan berhadapan dengan mahasiswi hati tentara langsung luluh.
Herman bertugas mengerahkan massa, sementara Gie membakar massa dengan orasi. Kata-kata Gie selalu seperti menyihir para pengunjuk rasa. “Saat dia berorasi, semua terdiam”. Itu dilakukan di depan Istana Bogor ketika berlangsung sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966. Dari kampus salemba, para mahasiswa menaikkan sepeda-sepeda itu ke truk. Sesampai di Bogor, sepeda-sepeda diturunkan dan langsung membuat perhatian tentara yang berjaga terpecah.
Pada 22 Februari 1966, Gie dan Marsilam (Ketua KAMI) merancang demonstrasi mahasiswa dengan menyusup ke dalam apel setia kepada Bung Karno di Lapangan Benteng, Jakarta Pusat. Gie mengusulkan mahasiswa UI membuat tanda pengenal sebagai antisipasi jika terjadi chaos. “Dia minta satu celana dilipat yang menandakan itu aksi mahasiswa UI, selain memakai jaket almamater kuning,” ( Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2016: 18)
Situasi unjuk rasa saat itu mulai memanas karena sebagian mahasiswa tidur di jalanan menghadang panser. Sebagian lain memblokade Jalanan Nusantara dan Harmoni. Mereka duduk-duduk dijalanan. Mahasiswa yang beragama Islam melakukan salat di tengah jalanan. “Mereka bersujud pada-Nya, di tengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah Tuhan, dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat,” kata Gie mengenang peristiwa itu seperti dikutip dari Catatan Seorang Demonstran. (Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2016: 18)
Semua ide Gie telah di keluarkan, Gie adalah paket komplet demonstran, begitu kata Cornelis Joost Katoppo atau Josi Katoppo, sahabat Gie yang juga mahasiswa Publistik UI. “Dia itu pandai berbicara, cerdas, matang, dan nekat.”
Josi melihat dengan mata sendiri kenekatan Gie ketika memimpin demonstrasi di depan kantor komite Central PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Ia menyebut satu peristiwa yang membuat nyalinya turun. Josi berboncengan dengan Gie melewati Jalan Cikini. Di jalan, mereka diberhentikan rombongan tentara yang sedang menertibkan preman. “Kami disuruh melepas jaket UI, tapi Gie menolak.” Nyali Josi sudah dititik paling rendah. Josi hampir membuka jaketnya, tapi di tahan oleh Gie. Gie yang berbadan kecil dan ringkih mencoba berdebat dengan rombongan tentara tersebut dan akhirnya Gie ditangkap dan diangkut ke truk tentara. Josi membuntuti dengan mengendarai Vespa di belakang. Setelah sempat diintrograsi di markas tentara, Gie dilepas. (Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2016: 19)
Gie dan Marsilam, sangat kritis terhadap kebijakan Soekarno. Salah satunya ditunjukkan saat perombakan Kabinet Dwikora tersebut, yang kemudian dijuluki kabinet 100 menteri, pada 24 Februari 1966.
Ketika itu mahasiswa, pelajar, dan pemuda berdemo di Istana Negara ingin menggagalkan pelantikan tersebut. Demo mahasiswa meluas, gelombang aksi mahasiwa ini mencapai puncaknya sehingga keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar dari Soekarno kepada Menteri Panglima Angkatan Darat/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Letnan Jendral Soeharto. Supersemar inilah yang menandai runtuhnya rezim Orde Lama. (Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2016: 91-92)

Sumber Refrensi
Kepustakaan Populer Gramedia, 2016. Soe Hok-Gie...Sekali Lagi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kepustakaan Populer Gramedia, 2016. GIE Dan Surat-Surat Yang Tersembunyi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.












2 komentar:

KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI SEBAGAI ULAMA’ DAN PEJUANG NUSANTARA


Oleh Muhammad Tarmizi
180310150007

Hasil gambar untuk foto Kyai HasyimOleh muridnya ia biasa di panggil dengan Kyai Hasyim, bagi muridnya yang ingin memanggil dengan sebutan yang lebih tinggi ia dipanggil Hadratussyaikh, tanpa menyebut namanya yang berarti tuan besar. Akan tetapi setiap Kyai Hasyim membuat surat tidak pernah menyantumkan namanya dengan sebutan-sebutan tersebut, ia hanya menulis: al faqir Hasyim Asy’ari.
Kyai Hasyim menonjolkan namanya dengan sebutan-sebutan yang menimbulkan wibawa agar dirinya di-kyai-kan orang, di-Hadratussyaikh-kan orang, bukan itu yang Kyai Hasyim inginkan,  tetapi orang menjadi segan terhadapnya karena jasanya. Beliau termasuk ahli Hadist, sejajar dengan guru-gurunya: Kyai Kholil (wafat 1923) dari Bangkalan Madura, Kyai Machfoed, at Tarmisi (wafat 1918), Kyai Hasyim juga pernah berguru pada Syeh Ahmad Khotib Minangkabau, tetapi setelah Syeh Ahmad banyak terpengaruh paham-paham pembaharu dari Mekkah, Kyai Hasyim tetap teguh dengan pendiriannya. Karena itu gelar ke-Kyai-an dan ke-Hadratussyaikh-an memang didapat disertai bobot keilmuan tingkat tinggi yang mantap, serta pengokohan oleh para gurunya sebagai murid yang berhak menyandang Kyai. Satu ketentuan yang tak tertulis sekalipun ilmu dan amal cukup, tetapi dalam menjadi Kyai besar haruSlah dengan rekomendasi dari guru, jika tidak maka datangnya sebutan seperti itu karena yang menyebut adalah orang-orang latah. Rekomendasi guru tersebut dibutuhkan sebagai pertautan secara tasalsul. Sejak mondok di Kyai Kholil Bangkalan, rekomendasi Kyai sudah diterima oleh Kyai Hasyim dari gurunya Kyai Kholil. Untuk mempertanggungjawabkan Kyai Hasyim banyak mendidik dan mengajar santri-santrinya Kyai Kholil. Diantara santri-santrinya adalah Abdul Manaf Abdul Karim, ketika Kyai Hasyim mendirikan Pesantren dialah santri pertamanya.
Kyai Hasyim sebagai seorang Ulama yang menentang segala macam penajajahan, terutama penjajahan dari Belanda terhadap Indonesia yang sebagian rakyatnya beragama Islam, Kyaia Jasyim mengatur strateginya secara sistematis, ia tanamkan kepada santri-santrinya harga diri kaum muslimim yang sederajat, bahkan melebihi harga diri kaum penjajah
Rencana, perhitungan Kyai Hasyim sangat teliti, apa yang menjadi gagasan rancangan nya selalu tepat, karena dalam waktu yang relatif singkat diukur dengan berdirinya ponpdok pesantren Tebuireng,  Kyai Hasyim telah mencetak beberapa muridnya yang menjadi Kyai maupun Ulama yang sanggup memimpin  ponfok dan juga berkiprah di masyarakat. Diantaranya: Kyai Wahab Chasbullah dari tambakberas,  Kyai Bisri Samsuri dari Denanyar, Kyai As’ad Samsul Arifin Situbondo, Kyai ahmad Sidiq dari Jember, dan masih banyak yang lainnya. Karena murid-muridnya tersebar dipulau Jawa Khususnya dan Umumnya dipulau Jawa, maka terangkatlah Kyai Hasyim dipuncak kekuatan yang tersusun seperti piramid, sehingga membingungkan Pemerintah Belanda.
Dalam mengasuh pondoknya Kyai Hasyim selalu menjaga keikhlasan hatinya. Ia tidak mendudukan pondok sebagai tujuan usahanya, tetapi pondok sebagai sarana untuk menggodok santrinya untuk dicetak sebagai manusia yang faqquh fi diddin, yang mampu berkiprah di masyarakat, menjadi pemimpin umat walaupum dilingkungan yang paling kecil. Untuk memperlancar usaha mencapai cita-citanya Kyai Hasyim bertindaj tidak kepalang tanggung. Ia menganggap santri itu bukansaja sebagai murid atau anak aduh, tetapi lebih dari itu sebagai anak sendiri. Santri yang kurang mampu ekonominya dipikirkan penghidupannya, kadang-kadang diberi tugad memelihara kuda beserta delmannya, ada yang bertugas kesawah ada juga yang di tugaskan mengisi air wudlu masjid. Yang penting semua santrinya merasakan betapa besar attensia Kyai terhadap dirinya. Satuhal yang sulit digambarkan dimasa kini, satu masa yang melahirkan modern, ialah attensia Kyai Hasyim terhadap santrinya yang berjumlah kurang lebih 900 orang itu pada bulan suci ramadhan. Pada umumnya pada bulan Ramadhan, para alumni pondok Tebuireng yang sudah terjun ke dalan kemasyarakat, baik yang sudah menjadi Kyai, menjadi guru, menjadi politisi maupun yang menjadi politisi maupun yang menjadi pedagang dan yang lainnya. Menyediakan waktunya selama sebulan untuk menjadi santri kembali kepondok, memperdalam ilmunya dengan mengaji secara langsung kepada Kyai Hasyim. Pada bulan Ramadhan lah jumlah santri Tebuireng relatif lebih banyak dari biasanya.
Bentuk hubungan antara Kyai dan santri, antara guru dan murid yang telah diterapkan oleh Kyai Hasyim melalui metode pendidikan dan pengajaran dengan sistem taqlid itu membuka peluang secara bagi Kyai Hasyim untuk meluaskan dan pandangan hidup pribadinya yang anti penjajah, yang kafir itu ketengah masyarakat dengan memalui muridmuridnya yang sudah berkiprah di masyarakat. Untuk memperluas jangkauan tanligh dan dakwahnya di masyarakatluas itu oleh kyai Hasyim selalu dipesankan kepada santri-santrinya yang akan meninggalkan pondok agar tidak lupa untuk terus mengaja, mengajar, dan mengajar meskipun sedikit. Bagi santri yang dianggap mampu disarankan untuk mendirikan pondok pesantren atau sekurang-sekurangnya mengelola madrasah.

Pada sisi lain dalam bidang sosial politik Kyai Hasyim merasa prihatin, sebagai ulama ia ingin mebawa umat kedalam kehidupan yang diterangi oleh ilmu pengetahuan dan kultur yang sesuai dengan perkembangan agama. Kyai Hasyim menganggap bahwa masuknya kebudayaan luar Islam kedalam merapuhkan iman dan semangat pejuan dalam mencapai kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Karena itu ia berusaha semua santrinya agar tidak menyukai semua kultur dan kebiasaan yang datangnya dari luar islam, khususnya penjajah. Ia berpedoman sebuah hadist yang berbunyi : barangsiapa menyerupai kaum maka ia termasuk golongannya.
Kyai Hasyim bukan termasuk pembaharu dalam agama, ia sangat kokoh berpegang pada karangan ulama salaf, tetapi pikirannya cukup modern. Ia termasuk ulama yang menjadi benteng kubu-kubu paham Ahlussunnah wa Al-Jama’ah, bahkan kalo di kaji sepak terjang bisa dikatakan kaum sufi, tetapi Kyai Hasyim masih bisa menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Jauh sebelum terjadi revolusi fisik 45 Kyai Hasyim telah mengambarkan keadaan yang bakal terjadi dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Kebutuhan laskar yang bersenjata sangat di dambakan. Karena itu jalan yang paling dekat adalah memiliterisir santri atau bisa melakukan pelatihan militer terhadap para santri. Maka dibentuklah barisan Hizbullah. Karena semakin tua dan fisiknya kurang memungkinkan Kyai Hasyim tidak bisa mengikuti pelatihan secara langsung. Tetapi bukan berarti melepaskan diri, Kyai Hasyim perintahkan seluruh santrinya untuk mengikuti barisan latihan tersebut.
Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya kemerdekaan RI, masih dalam rangka persiapan kemerdekaan. Setelah meletusnya revolusi 45 semangat perjuanga Kyai Hasyim lebih meningkat lagi. Tanggal 22 Oktober 1945, sehari setelah berdirinya PKI, Kyai Hasyim memberikan fatwanya. Karena pentingnya watfanya tersebut sehingga kemudian ditetapkan sebagai Resolusi Nahdlatul Ulama, isinya tentang penetapan melawan Belanda hukumnya adalah fardlu’ain, wajib bagi setiap umat islam yang sudah baligh, bagi yang tidak berangkat ke medan perang tanpa alasan maka dianggap pengecut dan berdosa.
Semenjak itulah orang menjadi kagum atas sikap dan perbuata Kyai Hasyim, sebagai ulama ia telah mengantar puluhan, bahkan ratusan santrinya untuk menjadi pemimpin nasional. Bungkarno selaku Presiden RI yang pertama menyatakan kekagumannya setelah mendenggar fatwa Kyai Hasyim di pertemuan antara pejabat dan ulama r di Kediri. Pada akhir bulan  puasa tahun 1946, panglima besar angkatan perang RI Bapak Letnal Jenderal Soedirman datang bersilahturrahmi  mengunjungi rumah Kyai Hasyim di Tebuireng untuk bertukar pikiran dalam menentukan taktik strategi perjuangan kemerdekaan. Sejak itu maka makin eratlah hubungan mereka.
Pada 7 September 1947, saat itu Kyai Hasyim baru  saja selesai dari jamaah sholat tarawih bersama ibu-ibu di musholla  dekat rumahnya setelah itu akan di lanjutkan dengan acara pengajian untuk para ibu-ibu. Baru beberapa saat ia mengaji maka masuklah cucuny Yusuf Masyhar (K.H. Yusuf Masyhar, pengasuh Madrasatul Qur’an Tebuireng), memberi tahu bahwa ada dua orang tamu yang datang, seorang dari utusan Pak Dirman dan satu orang lagi dari utusan pak Tomo dari Surabaya. Kyai Hasyim segera menemui tamu yang sejak tadi di temani oleh Kyai Ghufron. Setelah berbasa-basi maka kedua utusan itu menyampaikan surat yang satu dari pak Dirman yang satu lagi dari pak Tomo. Setelah membacanya maka Kyai Hasyim diam dan membisu sambil memejamkan mata, saat itu masuklah seorang santrinya Kyai Adlan Aly Cukir sehingga menyadarkan Kyai Hasyim, lalu Kyai Adlan Aly diminta oleh Kyai Hasyim untuk menemaninya di tempat, tetapi dua orang yang tadi tidak bisa menunggu lama mereka harus pergi untuk mengikuti pertemuan lainnya. Sebelum para tamunya pulang Kyai Hasyim menyampaikan pada tamunya bahwa sangat pentingnya persoalan yang akan disampaikan maka Kyai Hasyim tidak langsung menjawabnya. Ia meminta hari esok untuk menjawabnya karena memerlukan kemantapan dan keteguhan untuk menjawab satu persoalan itu.
Ketika itu di Pesantren sedang tidak ada kegiatan maka Kyai Ghufron menyampaikan pesan yang dibawa oleh dua orang utusan itu, bahwasannya perkembangan pertempuran di daerah Malang, gempur-gempuran tentara belanda dibawah pimpinan Jenderal  S.H. Spoor di Singosari sangat hebat sehingga memporak-porandakan pertahanan. Kerugian dipihak kita besar, malah pegunungan di Singosari yang dianggap strategis berhasil dikuasai dan jatuh ketangan Belanda.
Kyai Hasyim lalu menekankan tangan pada kepalanya sambil mengatakan kata dengan peln: MasyaAllah, MasyaAllah, MasyaAllah! Kyai Gufron dan dua orang tamunya yang akan beranjak pulang hanya memandangi Kyai Hasyim saja. Tangan Kyai Hasyim meraba-raba pinggiran tempat tidur kemudian diam sebentar. Baru beberapa saat mereka menyadari bahwa Kyai Hasyim telah koma dalam keadaan duduk sambil berpegang pinghiran tempat tidur. Sejak itu ia terus koma kemudian pada jam 03.45 Kyai Hasyim dipanggil pulang kerahmatullah. Innalillahi.

Daftar Sumber:
Buku:
Abu Mujahi.2013. Sejarah NU “Ahlussunnah wa Al-Jama’ah” di Indonesia.Bandung.Tubagus Publishing
Bisri, Adib.2014. Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama’ .Pati. Roudloh Al-Thohiriah Kajen Margoyoso.
Internet :

https://www.google.com/search?q=foto+Kyai+Hasyim&espv=2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjKxu7i74bTAhXINo8KHbwxDFYQ_AUIBigB&biw=1366&bih=638#imgrc=vxtXwBWEoG5cMM:

1 komentar:

Fotojurnalis; Menjadi Bijak dan Kritis Sebelum Bertindak di Era Informasi Visual

Nama: Iftikar Muhamad Najib
NPM: 180310150085


In this magazine cover image released by Wenner Media, Boston Marathon bombing suspect Dzhokhar Tsarnaev appears on the cover of the Aug. 1, 2013 issue of "Rolling Stone." (AP Photo/Wenner Media)
Foto : www.rollingstone.com
Memahami foto sebagai bahasa visual dan alat komunikasi merupakan satu hal yang sangat perlu disadari sedini mungkin oleh para fotojurnalis. Karenanya, hal tersebut bukan hanya memperkaya visual vocabulary seorang fotojurnalis, tetapi memperkaya dan membantu seorang fotojurnalis dalam memotret atau menyusun frame dengan memanfaatkan elemen-elemen visual. Berbekal pengetahuan akan visual literasi akan membantu seorang fotojurnalis untuk tidak hanya mampu membuat foto akan tetapi mampu juga “membaca” foto mereka sendiri agar bisa mengkomunikasikan pesan kepada publik melalui karya-karya mereka.
Beberapa tahun silam, dalam cover majalah terbitan majalah  Rolling Stone menuai kontroversi. Hal ini menjadi kontroversi lantaran majalah Rolling Stone menggunakan foto profil dari akun twitter Dzhokhar Tsarnaev sebagai cover majalah. Dzhokhar Tsarnaev sendiri merupakan tersangka pelaku pengeboman Boston Marathon. Dalam cover majalah tersebut, Tsarnaev malah tak terlihat seperti pelaku pengeboman Boston Marathon. Ia malah terlihat innocent dan berpose dengan rileks sambil bersandar di tembok. Dalam headline di cover bertuliskan, “The Bomber: How a Popular, Promising Student was Failed by His Family, Fell Into Radical Islam and Became a Monster.”
Tidak bisa dihindari lagi, bahwa berbagai kecaman dan protes akan cover majalah Rolling Stone langsung bermunculan. Hal ini pula dikarenakan majalah Rolling Stone dianggap tidak memikirkan perasaan para keluarga korban dan para keluarga korban menganggap ini adalah sebuah penghinaan terhadap peristiwa pengeboman Boston Marathon. Berbagai reaksi bermunculan, hingga isu moral dan etika pun menjadi perdebatan. Namun apakah pantas foto selfie seorang pelaku pengeboman dijadikan cover sebuah majalah?
Tentu saja dalam hal ini, majalah Rolling Stone yang merupakan majalah besar tidak mungkin tidak memikirkan matang-matang apa maksud dan tujuan hingga akibat yang akan ditimbulkan ketika foto seorang pelaku pengebomam dijadikan sebagai cover majalah. Kasus cover majalah Rolling Stone adalah satu dari sekian contoh bahwa pesan visual dapat memberikan efek yang luar biasa. Entah memprovokasi, menginspirasi, mengundang simpati ataupun membuat orang yang melihatnya berempati.
Sebuah karya jurnalistik bisa dibilang berhasil ketika mampu membuat pembacanya berpikir meskipun hal tersebut terkadang membuat seseorang merasa tidak nyaman. Majalah Rolling Stone sadar akan hal itu dan cukup cerdas mengemas isunya. Bukan karena kontroversi yang ditimbulkannya tapi lebih karena cover majalah tersebut sebetulnya memiliki pesan dan makna penting yang ingin disampaikan: bahwa siapa pun di sekitar kita rentan menjadi seorang pembunuh atau teroris. Dan sosok mereka ada di sekitar kita, entah itu rekan kerja, sahabat, teman kuliah, tetangga, kerabat, atau bahkan mungkin anggota keluarga kita sendiri. Dan ini tentunya jauh lebih menakutkan dan harus di waspadai. Dan hal itu terwakili dengan foto selfie Tsarnaev, pelaku bom Boston Marathon, yang menjadi cover majalah.
Oleh karenanya bersikap bijak dan kritis sebelum bertindak tidak hanya dilakukan oleh seorang fotojurnalis, tetapi masyarakat umum pun perlu memiliki sikap bijak dan kritis ketika “membaca” sebuah pesan visual. Karenanya, visual literasi sangat berperan penting ketika informasi visual melimpah ruah namun tidak dibarengi dengan pemahaman maupun keterampilan dasar “membaca”, mengevaluasi, memahami, memaknai, dan menggunakan visual sebagai sarana komunikasi yang efektif.
Fotojurnalis sendiri lahir dan  berakar dari foto dokumenter di mana sebuah karya foto jurnalistik pertama kali muncul pada Senin 16 April 1877, saat surat kabar harian The Daily Graphic di New York memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu. Hal ini merupakan tonggak awal terlahirnya fotojurnalis, di mana setiap berita yang disajikan ditambahkan dengan sebuah foto atau karya visual untuk dengan mudah mengkomunikasikan bagaimana suatu kejadian terjadi sehingga pembaca dengan mudah memahami bagaimana suatu kejadian atau peristiwa terjadi.
Tidak mudah untuk menjadi seorang fotojurnalis dulu dan sekarang, karena untuk menyampaikan suatu pesan ataupun makna dalam sebuah karya visual perlu bekal memori-memori visual yang harus dimiliki oleh seorang fotojurnalis. Karena di dalam sebuah karya fotojurnalis selalu memiliki pesan visual di mana di dalam visual literasi ada tiga hal penting yang bisa kita peroleh. Pertama, memahami karya visual. Kedua, mampu menciptakan atau menggunakan karya visual sebagai media berekspresi atau berkomunikasi, dan yang terakhir adalah membangun pemahaman & pemikiran yang kritis dalam melihat sebuah karya visual.
Jadi seberapa pentingkah visual literasi dalam fotojurnalis untuk membangun sikap bijak dan kritis sebelum bertindak? Sangat penting. Karena membangun budaya literasi terutama dalam sebuah karya visual sangatlah penting, apalagi kita hidup di zaman di mana informasi visual berlimpah ruah dan sangat mudah diperoleh. Dengan menjadikan budaya literasi sebagai habbit, terutama di tengah masyarakat yang menjadikan informasi visual sebagai bentuk komoditas utama dan masyarakat yang masih mempercayai bahwa foto sebagai bentuk representasi atas apa yang mereka lihat termasuk juga seperti halnya karya fotojurnalis. Ini membuat masyarakat kita terutama para fotojurnalis untuk menjadi lebih bijak dan kritis terhadap sebuah karya visual dan akan lebih menghargai lagi karya-karya orang lain.

Sumber referensi:


2 komentar: