KASUS NARKOBA RIDHO RHOMA: KILAS BALIK CANDU DALAM ARUS SEJARAH INDONESIA
Oleh
Tina Safta Martiana
180310150091
Maraknya
penggunaan narkoba atau candu di kalangan masyarakat Indonesia menambah wacana
“mengerikan” negeri ini, pasalnya penggunaan barang haram itu seolah sudah
membudaya. Hampir disetiap umur dan kalangan, mulai dari anak-anak, remaja,
hingga lanjut usia serta mulai dari kalangan dengan pendapatan ekonomi rendah,
menengah hingga tinggi, terjangkit dengan permasalahan candu.
Dikutip
dari laman http://www.antaranews.com
(diakses
pada Kamis, 30 Maret 2017) Indonesia dinyatakan darurat narkoba, dan survei
membuktikan dari 5 juta dari penyalahguna
narkoba, 40-50 orang meninggal setiap harinya. Survey
yang dilakukan BBN sejak tahun dengan mengambil sampel penyalahguna narkotika
dari kalangan usia 10-59 tahun. Penelitian ini dibagi menjadi beberapa kategori
yakni coba pakai, teratur pakai dan pecandu (Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna
Narkoba Tahun Anggaran 2014: 7).
Kasus yang baru-baru memanas
di panggung negeri ini adalah tertangkapnya Muhammad Ridho Irama atau yang
beken dengan nama Ridho Roma karena terbukti sebagai pemakai narkoba. Dunia
pertelevisian tidak henti-hentinya menayangkan kasus anak Si Raja Dangdut,
pasalnya Sang Ayah kerap menciptakan lagu-lagu yang bertemakan religi dan
memerangi kemunkaran lewat sebuah lagu, salah satunya berjudul Narkoba. Ridho
Rhoma ditangkap polisi pada Sabtu (25/3) pukul 04.00 WIB usai berpesta. Polisi menemukan
barang bukti berupa sabu seberat 0,7 gram di dalam mobilnya dan diperkirakan
bernilai Rp1,8 juta. Selain sabu seberat 0,7 gram, polisi juga mengemukan
barang bukti lain yakni sebuah alat hisap sabu (dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-3459510/kasus-ridho-rhoma-ini-kata-polisi-soal-narkoba-di-kalangan-artis, diakses pada 30 Maret
2017).
Ditarik dari garis sejarah, ternyata narkoba atau candu telah
digunakan oleh orang-orang Eropa, India dan Asia sejak abad 16. Pada awalnya, saat
Belanda mendirikan sebuah kongsi dagang bernama VOC (Verenidge Oost-Indishe
Compagnie) pada 1602, rempah-rempah merupakan komoditi utama yang
diperdagangkan namun, pada 1650 Belanda mulai memperjual-belikan candu. Belanda
mendapatkan pasokan candu dari Bengal di India dan dipasarkan di wilayah Asia
Tenggara dan Cina. Belanda menjadikan Jawa dan Sumatera sebagai pasar dan pusat
perdagangan candu di Nusantara. Untuk menjaga harga candu tetap stabil dan
tinggi, pada 1773 Bengal mulai memonopoli perdagangan candu dunia dan pada 1779 dibuatlah
pelarangan penanaman candu kecuali dengan lisensi (Bailey dan Truong,
2000: 2).
Pada awalnya candu digunakan sebagai bumbu dapur karena rasa
dan aromanya yang membuat rasa makanan semakin sedap, akan tetapi pandangan
berbeda mulai diperkenalkan Belanda pada 1660. Belanda menyalahgunakan candu sebagai
“obat nikmat”. Kebiasaan ini berhasil disebarkan hingga ke Taiwan, Fujian dan
daratan Cina lain (Abdullah, dkk. Indonesian Heritage3, 2002).
Pada abad 18 Belanda menguasai wilayah Hindia dan terlibat ke
dalam perdagangan Internasional. Pada masa itu, Belanda menggunakan candu
sebagai komoditi ekspor utama karena harganya yang sangat tinggi di pasaran.
Selain itu, candu merupakan penghasil pundi-pundi terbesar setelah
rempah-rempah dan hal tersebut sangat membantu kondisi keuangan pemerintahan
Hindia Belanda.
Candu menjadi penyumbang dana bagi keuangan pemerintahan
Hindia Belanda karena beberapa faktor. Pertama, karena perdagangan candu
menyediakan uang tunai. Kedua, perdagangan candu meningkatkan hubungan dagang
dengan Cina. Ketiga, monopoli candu menjadi pelopor bagi organisasi keuangan
Belanda (Abdullah, dkk. Indonesian Heritage3, 2002; Rush, 2007: 1). Hasil
dari perdagangan candu pada abad ke 18 ini dapat menutup segala kebutuhan
Belanda seperti biaya dagang, biaya perang VOC, dan segala biaya administrasi organisasi
kolonial.
Menjelang pertengahan abad 19, Belanda mulai mengalami masa
kemunduran. Belanda kehilangan pengaruhnya di Hindia dan juga kehilangan
kendali perdagangan candu di wilayah produsen candu terbesar, India. Pada 1833 Crown diklaim India dan EIC (East Indisch Compagnie)[1]
kehilangan hak monopolinya. Produksi candu menjadi semakin tersusun dalam sistem yang handal. Hal itu memberikan hasil
perdagangan yang mantap antara India dan sebagian besar Asia Timur. Tahun 1843,
Inggris kembali berpengaruh dan melakukan pengaturan mengenai budidaya dan
penjualan candu. Inggris juga berhasil mengontrol dan menyegel rute penyelundupan
candu (Bailey dan Truong, 2000: 2).
Pada 1860-an Cina memulai budidaya candu dan menjadi pesaing yang
kuat bagi India pada 1870-an dan 1880-an. Persaingan perdagangan candu semakin
ketat antara India dan Cina sebagai produsen candu bagi dunia. Akhirnya India
melakukan pemutusan hubungan dagang dengan Cina dan secara administratif
dibatasi awal tahun 1911 dan berhenti sepenuhnya pada tahun 1917 (Bailey dan Truong, 2000: 2). Sementara itu, pihak Belanda
masih menggantungkan nasib pasokan candu dari Inggris di India (Abdullah, dkk. Indonesian Heritage3, 2002), namun Belanda juga tetap mendapatkan
candu dari Cina sebagai pengganti kopi (Breman, 2014 : 143).
Sejak 1920-an, dunia mulai mengkritisi mengenai dampak
penggunaan candu yang berlebihan. Tanaman candu yang awalnya digunakan sebagai
obat penghilang rasa sakit, tanaman seribu khasiat serta bumbu dapur disalahgunakan
sehingga menimbulkan dampak ketergantungan bagi pemakainya mulai
didengung-dengungkan untuk dimusnahkan. Mulai tahun 1940, ketika pengguna candu
semakin meningkat, Pemerintah Hindia Belanda justru sangat sedikit dalam menunjukkan
rasa kepeduliannya terhadap dampak kecanduan yang melemahkan pemakainya di
Hindia Belanda. Adapun permintaan dunia mengenai pemusnahan candu berjalan
sangat lambat bahkan perniagaan candu berskala besar tetap berjalan hingga
akhir pemerintahan Hindia Belanda pada 1942 (Abdullah, dkk. Indonesian Heritage3,
2002).
Di masa modern sekarang ini, candu atau narkoba tetap menjadi
barang dagangan namun dipasarkan secara gelap. Pelarangan-pelarangan yang
dibuat oleh pemerintah membuat para pengedar narkoba menjadi lebih pintar dalam
melakukan penyelundupan barang haram tersebut. Dilansir dari laman Metro
News Viva, Minggu 26
Maret 2017, penyelundupan
narkoba ke Indonesia, tak hanya dimasukkan ke dalam
tubuh tetapi juga dimasukkan ke dalam vagina wanita. Hal tersebut dilakukan
para bandar demi lolos dari petugas di bandara.
Permasalahan narkoba merupakan permasalahan
pelik. Upaya pemerintah dalam mengatasi dan meminimalisir penggunaan narkoba
salah satunya dilakukan dengan cara sosialisasi mengenai dampak penggunaan
narkoba dan upaya penegasan terhadap hukum. Pihak BNN (Badan Narkotika
Nasional) yang konsentrasi terhadap kasus narkoba menegaskan bahwa:
''BNN melakukan penindakan tanpa pandang bulu, baik pria, wanita, warga
negara Indonesia, warga negara asing, karyawan, mahasiswa, oknum aparat yang
terbukti terkait dalam kasus Narkotika. Hal ini dibuktikan dengan adanya
tindakan yang tegas terhadap oknum yang terbukti terlibat kasus peredaran gelap
Narkotika, yang saat ini sedang menjalani proses hukum dan kode etik. BNN juga
tidak segan-segan menggunakan senjata untuk penegakan hukum dalam memerangi
para kurir dan bandar. Kesungguhan BNN dalam menghentikan penyelundupan serta
peredaran gelap Narkotika diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan memberikan
sanksi hukuman yang seberat-beratnya terhadap para tersangka, termasuk dalam
penetapan hukuman mati.''(Dikutip
dari Executive Summary Press Release Akhir
Tahun 2015, Jakarta, 23 Desember 2015).
Melihat kondisi Indonesia yang dinyatakan sebagai negara rawan narkoba mengharuskan kita sebagai generasi muda untuk ikut andil dalam upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan studi dan memperdalam pengetahuan diri tentang bahaya narkoba. Selain itu juga upaya preventif yang dapat dilakukan adalah memperhatikan lingkungan sekitar, lebih selektif dengan siapa seharusnya bergaul serta lebih bersikap terbuka dan meminta bantuan kepada orang yang bisa dipercaya ketika memiliki masalah. Dengan demikian, upaya-upaua penanggulangan narkoba yang dicanangkan pemerintah harus diimbangi dengan kesadaran diri sedini mungkin bahwa narkoba adalah perusak diri bangsa.
Mari bersama menciptakan Indonesia sehat tanpa narkoba. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?
DAFTAR SUMBER:
BUKU:
Breman, Jan. 2014. Keuntungan
Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa
1720-1870. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Bailey, Waren, Lan Truong. 2000. Opium and Empire: Some Evidence from Colonial-Era Asian Stock and Commodity
Markets. Cambridge University Press.
Rush,
James R. 2007. Opium to Java: Revenue Farming dan Chinese Enterprise in
Colonial Indonesia 1860-1910. Jakarta:
Equinox Pub.
Abdullah,
Taufik, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Sejarah Modern Awal. Jilid 3.
LAPORAN:
BNN. Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015.
B/PR-153/XII/2015/HUMAS
BNN. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun
Anggaran 2014.
INTERNET:
http://www.antaranews.com/berita/548440/bnn--50-orang-meninggal-per-hari-karena-narkoba (diakses pada 30
Maret 2017).
https://news.detik.com/berita/d-3459510/kasus-ridho-rhoma-ini-kata-polisi-soal-narkoba-di-kalangan-artis (diakses pada 30 Maret 2017).
http://metro.news.viva.co.id/news/read/898089-penyelundupan-narkoba-ke-indonesia-lewat-vagina-dan-kulup
(diakses pada 30 Maret 2017).
[1] EIC adalah kongsi dagang Inggris
yang didirikan pada 1600 dan sebagian besar kekuasaannya berada di wilayah
India. EIC menjadi pesaing VOC dalam perdagangan.
Tina Safta Martiana - 180310150091
8 komentar: