Pengaruh Hegemoni Industri Budaya Terhadap Generasi Millenial di Indonesia

Oleh: Abdu Akil Vikri

180310150074

Pada zaman di abad ke 21, perilaku masyarakat, khsususnya generasi millenial di dunia semakin konsumeristis, khususnya di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat di Indonesia yang haus akan segala barang-barang tersier, dengan harga yang cukup sulit dijangkau. Tidak sedikit pula di antara mereka yang rela untuk menyisihkan kebutuhan primer nya demi mendapatkan barang yang mereka inginkan.  

Hal-hal yang dianggap materialistis, kini semakin berada pada puncaknya. Barang-barang yang bukan kebutuhan pokok, bahkan dengan harga nya yang sangat mahal, justru kian laris di pasaran. Dengan bermodalkan nama dari suatu merek yang terkenal, orang-orang akan memburunya hingga ke ujung dunia. Hal itu disebabkan oleh adanya rasa kebanggaan dari dirinya atau disebut dengan self-esteem. Self-esteem adalah harga diri atau penghargaan seseorang terhadap diri sendiri termasuk self-respect, rasa percaya diri, dan segala kemampuan yang ada pada dirinya sendiri atau keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri (Santrock, 2011).

Gaya hidup yang terus berkembang, terutama di kota-kota besar seperti kota Bandung, membawa gaya hidup atau lifestyle yang awalnya terbatas menjadi tidak terbatas. Lifestyle atau gaya hidup, didefinisikan oleh Kotler (dalam Susanto, 2013) sebagai pola hidup seseorang yang dapat dituangkan dalam aktivitas atau kegiatan sehari-hari melalui minat dan keinginan seseorang dalam beropini maupun berperilaku.

Gaya hidup tersebut tidak hanya merasuki kalangan dewasa, namun sampai juga kepada kalangan anak-anak. Bahkan, kini anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, banyak yang memaksa kepada orang tuanya untuk dibelikan gadget keluaran terbaru. Tidak sedikit dari orang tua tersebut yang memenuhi keinginan anak mereka. Adapun bagi yang tidak mampu, membuat seorang anak tersebut menjadi rendah diri atau bahkan ada yang melakukan pencurian demi memenuhi keinginannya.

Di samping itu, terdapat orang-orang yang memanfaatkan gaya hidup yang kian berkembang ini. Dengan tingginya harga-harga barang bermerek, tingkat permintaan tetap naik dan begitu pula dengan tingkat penawaran, memunculkan pengusaha-pengusaha lokal yang memanfaatkan nama merek terkenal untuk dijadikan sebagai barang produknya sendiri, sehingga muncul barang kw. Kw merupakan singkatan dari kata kwalitas, yang konotasinya berarti tiruan. Barang-barang kw atau tiruan tersebut dijual dengan pangsa pasar kepada orang-orang yang ingin memiliki barang bermerek namun tidak mampu membelinya, sehingga barang kw menjadi pilihan terakhirnya.

Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu negara penghasil barang tiruan. Buktinya, kini semakin banyak barang kw yang beredar di masyarakat dan barang-barang tersebut diproduksi di Indonesia, Ketua Harian Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, membenarkan hal itu. Meskipun begitu, barang-barang tersebut cukup laris di pasaran, atau bahkan justru tingkat penjualan barang orisinil dikalahkan oleh keberadaan barang-barang kw tersebut.

Tetapi pada zaman ini, orang-orang dapat membedakan antara barang-barang kw dengan barang-barang orisinil. Hal itu menyebabkan terjadinya suatu kesenjangan sosial, yang mana orang-orang yang menggunakan barang orisinil merasa lebih tinggi status sosialnya sehingga merendahkan orang-orang yang tidak ‘satu kelas’ dengannya.

Meskipun begitu, bagi sebagian orang, dengan menggunakan barang-barang yang memiliki ‘nama’, meskipun bukan merupakan barang asli, mereka tetap bangga dan sangat percaya diri, bahkan cenderung ke arah kesombongan. Dalam pandangan saya, orang-orang seperti itu merupakan orang bodoh karena mereka justru menjatuhkan dirinya sendiri. Saya mungkin termasuk ke dalam orang-orang bodoh tersebut, pada ‘masa-nya’. Tetapi, saya pun segera sadar akan hal itu, bahwa tidak selalu terlihat keren menggunakan barang bermerek, terlebih lagi barang tersebut tidak orisinil.

Namun, terdapat dampak positif dalam bidang ekonomi dari adanya barang-barang kw, ialah meningkatkan pendapatan penduduk, karena dengan begitu, munculnya lapangan kerja baru bagi masyarakat. Tetapi, bagi pemilik barang-barang yang ditirukan, hal tersebut membuat mereka rugi sekaligus menguntungkan, dalam mendongkrak nama merek nya hingga dikenal secara lebih luas dalam lingkungan masyarakat kecil.

Dari uraian di atas, terdapat sebuah hegemoni dalam suatu industri budaya. Secara tidak langsung, kepemimpinan sebuah budaya yang dikemas sebagai industri, telah mendominasi gaya hidup masyarakat luas. Dengan tujuan uang, para pemilik modal melakukan pengoperasian masyarakat secara tidak langsung. Hal-hal yang dilakukan oleh para kapitalis, seperti membentuk selera dan kecenderungan massa, telah membentuk kebutuhan palsu yang mengesampingkan kebutuhan sejati. Tentu saja, karena operasi nya secara tidak sadar kita rasakan, membuat kita sebagai ‘penikmat’ bisnis budaya tersebut, semakin menikmati hingga akhirnya mabuk terlelap dalam suatu kontrol yang mereka pegang.

Kaum kapitalis pertama kali muncul pada sekitar abad ke-18, awalnya dengan adanya revolusi industri di Inggris. Dimulai pada tahun 1713, Abraham Darby, seorang pandai besi yang menggantikan kayu dengan batu bara untuk pemanasan biji di bengkelnya. Tahun 1764, James Hargraves, seorang penenun, menciptakan alat penenun wol dengan diputar satu tangan, kemudian tahun 1771, alat tersebut diperbarui oleh Arkwright menjadi alat yang digerakkan oleh kincir air. Maka dari itulah, muncullah mesin dan perusahaan besar pertama di dunia.

Untuk itu, bila tidak ingin terus terlelap dalam suatu hegemoni industri budaya, kita perlu sadar terlebih dahulu. Kemudian, mulai meninggalkan bisnis yang dioperasikan mereka, dengan cara dari diri sendiri. Mulai membuat inovasi bisnis baru, yang dapat menginspirasi masyarakat lainnya, tanpa melakukan suatu dominasi kekuasaan. Karena pada sejatinya, usaha-usaha yang dilakukan sama dan tidak ada bedanya. Hanya cara pembuatan dan bahan lah yang berbeda, sehingga memunculkan hasil yang berbeda pula. Maka dari itu, sadar akan potensi yang dimiliki untuk terbebas dari dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh para pemilik modal, merupakan hal terpenting dalam diri ini.

DAFTAR SUMBER

Santrock, J. W. 2011. Life Span Development (13th ed.). New York: McGraw-Hill.

Susanto, A.S. 2013. Membuat Segmentasi Berdasarkan Lifestyle (gaya hidup). Jurnal JIBEKA 7 (2).

Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara VS Pasar. Yogyakarta : Media Pressindo.