e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Eksistensi Perfilman Indonesia : Yang Masih Kurang Diminati Warga Lokal Sendiri.

Oleh Aprilliani
180310150044

Hasil gambar untuk film
Eksistensi Perfilman Indonesia sampai saat ini sungguh sangat menarik bahkan meningkat digemari masyarakat lokal maupun mancanegara. Tetapi kadang pasang surut karena bersaing dengan film-film impor. Film itu merupakan sebuah gambar hidup yang melukiskan gerak dengan cahaya, pergerakan dari gambar itu disebut dengan intermitten movement. Film itu menjadi sebuah media yang sangat berpengaruh bagi orang yang menontonnya. Pembuatan film memang sudah ada sejak dulu Medio 1900-an, Hindia Belanda mendapat kemajuan dengan masuknya gambar idoep-cikal bakal dari film modern. Dahulu pemilik film lokal atau yang memproduksi merupakan orang Cina dan Belanda. Pada tahun 1926 awal kemunculan adanya film serta bioskop sangat digemari sekali oleh orang Pribumi dan Tionghoa. Kesukaan orang melihat film memang sangat antusias sekali apalagi jika dibumbui dengan cerita romantis percintaan. Tapi dulu film-film yang diproduksi merupakan film tentang kenyataan yang sedikit di tambah cerita sastra. Para pemainnya pun merupakan orang-orang pribumi anak para Bupati setempat. Tanggal 30 Maret 1950 dimulai syuting perdana film “Darah dan Doa” atau “Long March of Siliwangi” dimana film ini diproduksi dan disutradarai oleh orang asli Indonesia yaitu Usmar Ismail melalui Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang sebelumnya terbentuk pada 30 Agustus 1954, Film Long March of Siliwangi ini menjadi film pertama yang sangat mencirikan ke Indonesiaannya. Karena adanya film ini maka dijadikannya tanggal 30 Maret sebagai hari film Nasional, yang mana diresmikan keputusan ini pada 11 Oktober 1962.
Banyak sekali unsur film yang jarang tidak kita ketahui mengapa adanya hal tersebut seperti selalu ada sensor dalam film, cerita atau alur yang monoton bahkan tidak memiliki makna sekalipun. Bahkan perbedaan tujuan atau maksud dari pembuatan cerita film tersebut. Sesekali ada yang hanya ingin memperlihatkan kemampuan seninya dalam sebuah cerita film ada juga yang ingin membuat penonton mengikuti apa yang ada pada cerita itu. Hal itu terjadi karena sudah terlihat bahwa film itu sangat mempengaruhi mental si penonton.
Hasil gambar untuk film
Awal dari adanya tradisi sensor dimulai sejak zaman Hindia Belanda karena saat orang pribumi menonton film-film Eropa yang kadang memperlihatkan ke negatifan, sikap mereka menjadi berubah kepada pihak kolonial, maka dari dari itu pihak kolonial beranggapan bahwa orang pribumi tidak pandai membedakan fiksi dan fakta. Akhirnya di berlakukanlah tradisi sensor sebelum dipertontonkan. Tapi kemudian Munculah film-film yang ada unsur erotisme tahun 1970 karena saaat itu industri perfilman mendesak kelonggaran sensor pada pemerintah.  Berbeda dengan masa Jepang film itu dijadikan sebagai alat propaganda perang bagi pribumi. Tradisi sensor pun saat itu hanya berlaku untuk membatasi tradisi individualistik saja. Hal itu terjadi dimana pada akhir tahun 1941 Jepang yang lalu masuk ke Indonesia menutup semua studio film, maka di jadikanlah media propaganda tersebut.
Sekitar tahun 1957 saat itu dunia perfilman di Indonesia mengalami krisis, hal itu membuat para PKI berkata bahwa hal in terjadi karena dampak dari adanya impor film dari Amerika ke Indonesia bahkan PKI juga sempat menuduh Umar Ismail sebagai agen Amerika. Tetapi Umar Ismail tidak menyerah sampai akhirnya ia membuat film “ Tiga Dara” yang ia sutradarai sendiri. Memang dengan maraknya keluar Laser Disc, VCD dan DVD yang memudahkan masyarakat untuk menonton film-film impor. Tetapi karena adanya kamera pun memiliki kegunaan yang positif karena membangun rasa kreatifitas para pembuat film sampai akhirnya mereka membentuk komunitas film-film independen. Saat tahun 1980 perfilman Indonesia berada pada tingkat kejayaannya yaitu sangat diminati sekali, kreatifitas para pembuat film membuatnya menjadi menarik dan tidak membosankan. Banyaknya film lokal yang berhasil menempati beberapa bioskop yang ada serta statiun Tv.  Genre film mulai berkembang ada yang tentang percintaan remaja, silat (action), komedi serta horor. Ada juga yang menyatukan genre film itu kadang di dalam horor pasti terselip cerita komedi yang bisa mencairkan suasana tegang para penonton.
Tidak dapat dipungkiri memang sejak dulu kesukaan masyarakat lebih memilih film-film impor luar negri, yang memang dari cerita dan kualitas gambar lebih baik karena memang mereka lebih maju . Sampai sekarang pun terlihat tradisi menyukai film impor memang masih banyak terlihat di beberapa bioskop yang lebih di minati merupakan teater pemutaran film impor. Karean menurut pandangan saya memang masih monoton untuk perfilman Indonesia sekarang sehingga menghilangkan minat penonton untuk menikmati film Indonesia. Cerita yang diulang-ulang masih saja ada, kurangnya profesional dan skill para pemain sehingga cerita yang kadang bagus pun bisa menjadi menjadi cacat. Maka dari itu untuk perfilman Indonesia harus lebih ditingkatkan kualitas cerita, tempat bahkan pengambilan gambar. Serta berilah pesan moral yang baik bagi warga bangsa Indonesia ini sehingga tidak hanya kesenangan melihat suatu film tapi ada pesan moril yang bisa di terapkan dalam hidup sehingga setelah menonton film ada kenangan yang akan teringat selalu. Jadi marilah kita mencintai film karya bangsa sendiri suatu seni tidak akan bagus bila tidak mendapat suatu apresiasi dari penikmat nya sendiri.









Daftar Sumber

Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita Indonesia: Perkembangannja sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional.
Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa [History of Film 1900–1950: Making Films in Java] (dalam Indonesian). Jakarta: Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council.

0 komentar: