e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Balada Korupsi di Ibu Pertiwi

Oleh Nur Kholis

Akhir-akhir ini layar kaca televisi kita disesaki oleh berita penangkap-tanganan kasus korupsi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bukan merupakan berita yang bagus karena pada dasarnya perilaku korupsi tidak baik untuk kemajuan bangsa Indonesia. Juga akan menjadi hal yang tidak wajar karena pada kasus yang terbaru tersangka tertangkap tangan melakukan penyuapan dalam transaksi pembelian kapal dengan negara tetangga.
Tertangkap-tangannya seorang pelaku korupsi mengindikasikan banyak hal. Pertama mungkin akan menjadi berita buruk karena penangkap-tanganan sebuah kejahatan yang memiliki nilai sampai miliaran mengindikasikan kejahatan tersebut sudah wajar dilakukan sehingga transaksi yang harusnya berjalan sangat rahasia dan memerlukan pengamanan yang ketat tidak diperlukan lagi. Analoginya adalah seorang yang sering bermain bola atau kita sebut pemain bola pasti tidak akan ragu dalam artian malu untuk menendang sebuah bola karena itu hal yang biasa dilakukannya sedangkan orang yang tidak pernah bermain bola sekalipun pasti dia akan ragu atau malu dalam menendang bola. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia kejahatan. Orang yang sering melakukan kejahatan pasti akan dengan penuh percaya diri dalam melakukan kejahatannya tidak perlu ada pengamanan ketat dan sebagainya. Kedua merupakan berita yang sangat melegakan karena penggagalan suatu kejahatan yang besar mengindikasikan aparatur negara yang bagus dalam hal ini KPK tentunya.
Jika kita flashback ke belakang ternyata bukan hanya kali ini KPK menangkap-tangan pelaku korupsi. Di akhir Maret ini KPK melakukan penangkap-tanganan dua jenis kejahatan korupsi bernilai miliaran rupiah hasil operasi di tiga wilayah dan  melibatkan 11 pejabat. Terdapat tiga wilayah dua lembaga dan 11 pejabat dalam dua hari merupakan hal yang sangat tidak diharapkan bahkan oleh pejabat itu sendiri ketika mereka sedang duduk di bangku kuliah dan menyuarakan suara minor bermakna pars pro toto.
Baiklah mari kita tinggalkan paragraf ke tiga dengan segala masalahnya dan mulai menanyakan apakah korupsi di Indonesia baru booming akhir-akhir ini ataukah sudah lebih tua dari Indonesia dan berkembang biak menjadi bahaya laten?. Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut mau tidak mau kita harus membuka lembaran masa lalu dalam bentuk sejarah.
Pernahkah kita berpikir bahwa korupsi bahkan sudah marak di Indonesia sejak abad ke-9?. Pernahkah juga kita berpikir dari mana sang pelaku mendapatkan inspirasi untuk melakukan korupsi?. Jalan terbaik adalah tidak untuk menjawab pertanyaan terakhir karena seorang sejarawan sekelas Onghokham pun hanya mengetahui bahwa Mangilala Drwya Haji (kelompok petugas pajak) mulai melakukan korupsi sejak abad ke-9. Pengetahuannya tidak sampai pada inspirator para Mangilala Dwrya Haji untuk melakukan tindak kejahatan korupsi tanah itu sekalipun rujukannya adalah buku Peradaban Jawa karya Supratikno Raharjo.
Lalu apakah cukup sampai di situ kejahatan korupsi itu merajalela?. Jawaban tidak ternyata yang pantas memonopolinya. Kedatangan Belanda ke nusantara nampaknya tidak membawa serta etos kerjanya. Korupsi justru malah semakin menjadi-jadi ketika VOC berdiri. Bahkan VOC dianggap sudah bukan lagi Vereenigde Oostindische Compagnie (Nina, 2011: 326) melainkan Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi) dikarenakan pegawainya banyak yang melakukan tindak pidana korupsi. Setelah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bangkrut karena banyaknya pegawai yang korupsi, datanglah pemerintahan Hindia Belanda yang dibuat langsung oleh kerajaan Belanda. Namun, pemerintahan baru bukan berarti meninggalkan kebiasaan lama. Cultuur Stelsel yang diinisiasi oleh William Daendels tidak luput dari pelaku-pelaku korupsi. Di proyek inilah terjadi korupsi besar-besaran oleh pejabat daerah yang mencapai 60% hasil panen petani.
Habis masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan Hindia Belanda bukan berarti habis pula kesempatan korupsi untuk berkembangbiak. Di masa menjelang kemerdekaan korupsi juga ikut andil menjadi sebuah peristiwa sejarah yang tidak boleh luput dan seolah ingin memburamkan catatan emas kemerdekaan Indonesia yang tinggal menghitung tahun. Kasus korupsi ini menjadi salah satu akibat dari pecahnya Sarekat Islam.
Ada jeda antara masa kemerdekaan dengan masa reformasi yang biasanya lebih sering disebut orde lama dan orde baru. Karakteristik dua orde ini jika dilihat dari cara pelaku korupsi menjalankan rencananya bisa dibilang menjadi inspirasi terdekat dari korupsi-korupsi yang terjadi sekarang. Mulai dari korupsi di tubuh pemerintahan berupa penyogokan, memberi hadiah atau gratifikasi, sampai penggelapan pajak juga terjadi di orde ini.
Apapun ordenya apapun masanya korupsi selalu menjadi jalan terfavorit bagi para pejabat, orang yang memiliki wewenang, atau stakeholder untuk mencapai status masyarakat yang diinginkan. Namun begitu bukan berarti tidak ada jalan ataupun cara untuk menghilangkan bahaya laten dari korupsi ini. Menghilangkan berarti menjadikan bersih dari apapun yang berbau korupsi dan hal ini tidak akan instan didapatkan. Cara yang cukup menarik untuk dipakai adalah hukuman yang setimpal dan membuat jerah para pelakunya dengan adanya batasan dalam artian jumlah rupiah yang dikorupsi untuk menentukannya. Cara yang tidak kalah menarik adalah dengan mengatur jumlah maksimal setoran rutin kader yang menjadi dewan kepada partai pengusungnya. Hal ini untuk mengantisipasi para dewan rakyat terhormat untuk menambahkan sendiri pundi-pundi penghasilannya dengan berkorupsi. Cara terakhir yang paling menarik dan harus dicoba oleh pihak yang berwenang adalah mengatur kembali sistem pendidikan kita dari sekolah dasar sampai jenjang tertinggi agar tidak berpatokan pada nilai kumulatif yang sebenarnya tidak akan berarti apa-apa pada moralnya kelak. Contoh kasusnya adalah jika seseorang memiliki nilai sempurna pada mata pelajaran Pancasila bukan berarti dia akan secara otomatis mengamalkan semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam Pancasila. Hal yang sering terjadi adalah seseorang tersebut hafal materi akan tetapi dia melupakan tahap terpentingnya yaitu melaksanakan materi berupa nilai-nilai moral. Oleh karena itu perlu adanya sistem yang lebih baik yaitu menbuat sejajar ilmu umum dengan ilmu agama karena inilah cara terbaik saat ini untuk menanamkan hal-hal baik untuk kemudian dituai ketika menjadi pejabat nanti.





Daftar sumber internet
Daftar Pustaka
Herlina, Nina. 2011. Sejarah Provinsi Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat

Onghokham. 2004. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara. Buku Kompas

0 komentar: