e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Nasib Perfilman Indonesia dari Masa ke Masa

Syifa Uhayatun Nufus
180310150079

Film merupakan salah satu media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Film juga merupakan salah satu sarana hiburan yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Film pertama yang dibuat oleh orang Indonesia
sendiri adalah Darah dan Doa (Long March of Siliwangi) yang dibuat oleh Usmar Ismail (Bapak Perfilman Indonesia). Pengambilan gambar pertamanya dilakukan pada tanggal 30 Maret 1950. Akhirnya setiap tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional.
Nasib perfilman Indonesia dari masa ke masa mengalami jatuh bangun. Jika melihat kembali ke belakang, dalam jurnal yang ditulis oleh Eka Nada Shofa, pada tahun 1954 film-film Indonesia kalah saing dengan film-film impor, seperti film Malaya, Filipina, dan India. Pada tahun 1962-1970 dapat dilihat bahwa perfilman Indonesia kurang mendapat kebebasan karena terjadinya gejolak politik. Kemudian pada tahun 1970-1991 dunia perfilman Indonesia mengalami kemajuan dari segi teknologi. Selain itu, bioskop juga semakin berkembang. Pada 1991-1998 lagi-lagi dunia perfilman Indonesia kembali terpuruk atau bisa dibiang mati suri. Film-film Indonesia didominasi oleh film seks, seperti film Gairah Malam (1993). Kemudian setelah tahun 1998 dunia perfilman Indonesia kembali bangkit. Film-film yang muncul pada waktu itu adalah Petualangan Sherina, dan Ada Apa dengan Cinta (AADC) yang laku dipasaran.
Permasalahan yang dapat disimpulkan adalah yang pertama, sejak awal film-film Indonesia sudah kalah saing dengan film-film impor. Kedua, kurangnya kemajuan teknologi dalam pembuatan film. Ketiga adalah kurang kreatifnya para sineas (pembuat film). Keempat adalah adalah kurangnya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap film-film dalam negeri.
Masalah yang pertama adalah film-film Indonesia yang selalu kalah bersaing dengan film-film impor,seperti film-film Hollywood dan Bollywood. Saat ini, film-film impor masih menjamur di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa film-film impor masih merajai dunia perfilman Indonesia? Jawabannya adalah karena film-film luar negeri lebih menarik dan berkualitas, ceritanya bagus, aktris dan aktornya memiliki kemampuan acting yang patut diacungi jempol, profesional, dan para sineas membuat film dengan sungguh-sungguh sehingga film tampak nyata dan seolah-olah tidak dibuat-buat.
Saat ini banyak film-film Indonesia yang berusaha menarik perhatian masyarakat dengan melakukan syuting di luar negeri. Mengikutsertakan aktor dan aktris yang profesional, misalnya film AADC 2, London Love Story, dan masih banyak lagi. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk bersaing dengan film-film impor.
Masalah yang kedua adalah kurang majunya teknologi dalam pembuatan film. Jika dalam film-film Hollywood sudah menggunakan teknologi yang sangat maju, serta para sineas yang profesional maka di Indonesia mungkin masih sedikit ketinggalan. Akan tetapi saat ini Indonesia juga tidak kalah dalam hal teknologi pembuatan film, hanya saja mungkin Sumber Daya Manusianya yang kurang profesional. Misalnya saat ada adegan kebakaran, terkadang api masih telihat hanya buatan.
Masalah ketiga adalah kurang kratifnya para sineas. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya film-film yang meniru alur cerita atau isi cerita yang mirip dengan film-film yang sudah ada sebelumnya dan tidak mencerminkan Indonesia. Jika dilihat dari pengertiannya, film menurut beberapa teori film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zeitgeist) masyarakat saat itu. Siegfried Kracauer, seorang pakar film menyatakan bahwa pada umumnya dapat dilihat  kalau teknik, isi cerita, dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu (Imanjaya, 2006: 30). Pengertian film di atas sudah menjelaskan bahwa film yang baik itu sebaiknya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri.
Masalah keempat adalah kurangnya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap film-film dalam negeri. Banyaknya film-film impor membuat film Indonesia sulit mendapat perhatian dari masyarakat. Saat ini film-film Indonesia mulai kembali bersinar. Munculnya para sineas yang kreatif dan mempunyai semangat tinggi untuk bersaing dengan film-film impor. Film-film yang muncul pada tahun 2017, berdasarkan data yang diperoleh dari filmindonesia.or.id diantaranya yaitu Surga yang Tak Dirindukan 2 dengan 1.636.981 penonton, kemudian London Love Story 2 dengan 862.364 penonton, Promise dengan 655.805 penonton, dan lain-lain. Apresiasi masyarakat juga sangat penting bagi kemajuan perfilman Indonesia.
Kesimpulannya adalah jika dilihat dari pertama pembuatan film oleh orang Indonesia, hingga jatuhnya perfilman Indonesia yang puncaknya pada tahun 1990-an hal itu dikarenakan kurangnya dukungan pemerintah sehingga film yang dihasilkan kurang berkualitas. Film Indonesia juga sulit untuk bersaing dengan film impor, seperti film-film Hollywood dan Bollywood. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia sendiri lebih menyukai film-film impor itu, terutama anak-anak muda.
Saat ini perfilman Indonesia sedang gencar untuk membuat film yang menarik dan berkualitas. Dibintangi oleh aktor dan aktris yang memiliki kemampuan acting yang bagus. Akan tetapi masih sulit untuk menandingi film-film Hollywood dan Bollywood. Sebagai penikmat film, tidak jarang film Indonesia sudah dapat ditebak akhir ceritanya. Nasib perfilman Indonesia yang selalu kalah saing dengan film-film impor masih bisa diubah, jika mau berusaha. Maka usaha yang harus dilakukan salah satunya yaitu dengan memperbaiki alur cerita atau isi film agar tidak mudah ditebak akhir ceritanya, sehingga membuat penonton penasaran. Buat seolah-olah hal yang terdapat dalam film itu benar-benar terjadi.Selain itu, dukungan pemerintah dan masyarakat juga sangat diperlukan, terutama untuk mengapresiasi film-film karya Indonesia.     



Daftar Pustaka

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Bandung: Mizan
“Data Penonton tahun 2017” melalui <filmindonesia.or.id> [2 April 2017]
“Masa-masa Suram Dunia Perfilman Indonesia” melalui <https://digilib.uns.ac.id/>  [2 April 2017]
   


0 komentar: