e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Gerwani berakhir di Kamp Plantungan

Oleh Elokhtheo Viwano
180310150070

Aksi G30S-PKI (Gerakan 30 September -  Partai Komunis Indonesia) yang terjadi di Lubang Buaya memang menjadi sebuah cerita kelam dalam bangsa Indonesia yang juga menarik perhatian dari dunia internasional. Kondisi politik Indonesia setelah kejadian tersebut pun menyisakan trauma bagi orang-orang yang dianggap terlibat ke dalam pembunuhan jendral yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 tersebut. Orang-orang yang dianggap terlibat tersebut merupakan anggota PKI dan juga organisasi-organisasi massa dibawahnya seperti Gerwani.
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan sebuah organisasi yang bergerak dibidang sosial dengan tujuan utama menyetarakan hak antara pria dan wanita terutama yang sedang menjadi sebuah isu pada saat itu ialah perlindungan wanita dalam hal perkawinan. Gerwani yang awalnya bernama Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar), yang didirikan atas prakarsa S.K Trimurti dan kawan-kawannya yang pernah ikut berjuang dalam Agresi Militer Belanda kedua. Gerwani juga merupakan organisasi gabungan dari beberapa organisasi wanita lainnya yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung dan Surabaya, Gerwindo (Gerakan Wanita Rakyat Indonesia Kediri), Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan, dan Persatuan Wanita Sedar dari Madura. Programnya yang menentang praktik feodalisme, terutama yang berkaitan dengan masalah perkawinan poligami dan permaduan telah menarik banyak wanita untuk masuk ke dalam anggota Gerwani sehingga sampai tahun 1954 bisa menghimpun anggota sehingga 74.977 (Amurwani 2011:37-38).
Sepak terjang Gerwani dalam dunia Politik mulai terlihat ketika pemilu 1955, Gerwani yang selalu membuat kebijakan-kebijakan yang searah dengan PKI sehingga dikenal sebagai organisasi underbouw-nya PKI. Gerwani juga membantu kampanye-kampanye PKI untuk bisa duduk di parlemen pada saat itu. Dalam kampanye 1955, Gerwani menitikberatkan perhatian pada dua bidang, pertama yaitu bidang yang berkaitan dengan masalah feminis, seperti pemerkosaan dan perjuangan tentang terbentuknya undang-undang perkawinan yang lebih demokratis. Kedua, Gerwani memusatkan perhatian dengan pelaksanaan pemilu dengan mengajukan calon-calon dari PKI dan bukan dari organisasinya sendiri. Tahun 1964, ketika pemerintah mengeluarkan pernyataan agar semua organisasi massa bergabung denan suatu partai politik. Menanggapi hal tersebut, pimpinan Gerwani pun menyatakan diri bergabung ke dalam Partai Komunis Indonesia.
Pasca Kejadian 30 September 1965, media massa memberitakan adanya keterlibatan wanita dalam peristiwa pembunuhan jenderal di Lubang Buaya. Berbagai versi media massa menyebutkan bahwa Gerwani-lah kelompok yang harus bertanggung jawab atas penyiksaan dan pebunuhan tersebut. Menurut berita yang dimuat dalam koran Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, anggota Gerwani dengan bertelanjang menari-nari “harum bunga” dan menyiksa para jenderal sebelum dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
Koran-Koran mempropogandakan Gerwani dengan citra perempuan yang sama sekali bertentangan dengan segala nilai wanita Indonesia. Hal ini menimbulkan rasa ketakutan di berbagai kalangan masyarakat. Dalam beberapa pemberitaan media massa, masyarakat secara psikologis dibuat siap untuk membunuh orang-orang yang dianggap tergolong anggota PKI atau pun Gerwani. Soeharto dengan Surat Perintah 11 Maret kemudian secara resmi melakukan pembubaran dan pelarangan PKI termasuk semua organisasi massanya, Gerwani resmi dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966. Kedekatan Gerwani dengan PKI dimanfaatkan untuk melegitimasi peristiwa 30 September 1965. Mulai saat itul-lah, anggota Gerwani menjadi buronan para simpatisan “Anti Kiri” .
Penangkapan anggota Gerwani mulai terjadi di berbagai Kota di Indonesia dan langsung dipenjarakan di penjara setempat tanpa adanya proses pengadilan. Mereka yang dijadikan Tapol (Tahanan Politik)  ini tidak semuanya anggota Gerwani, ada pula yang ditangkap guna menjadi jaminan untuk suami atau pun kerabat dekatnya yang beranggotakan PKI, ada juga orang-orang yang tidak bersalah tapi salah tangkap. Dalam proses pemeriksaan Tapol ini kerap mendapatkan perilaku tidak senonoh dari aparat, seperti disuruh melepas pakaiannya dengan guna untuk melihat tanda cap PKI di bagian paha atau pun dada, ada juga yang diperkosa serta dipukuli hingga pingsan.
Dengan guna untuk melindungi para Tapol dari amukan massa yang “Anti Kiri” yang sudah menelan korban 500.000 orang komunis terbunuh, maka para Tapol akan dipindahkan ke sebuah tempat yang dinamakan Kamp Plantungan pada tahun 1971. Plantungan merupakan nama sebuah desa di Kecamatan Plantungan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tepatnya dibawah kaki Gunung Prahu dan diapit oleh Gunung Butak dan jajaran Pegunungan Dieng. Desa Plantungan selalu ditutupi oleh kabut tebal yang turun setiap hari dengan suhu terendah bisa mencapai 16 derajat celcius di ketinggian 723 meter di atas laut. Nama Plantungan berasal dari kata lantung karena di daerah ini terdapat tanah liat hitam yang oleh orang Jawa disebut lantung. Di desa Plantungan terdapat sebuah komplek gedung yang dibangun pada tahun 1870 oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan guna untuk rumah sakit militer. Pembangunan rumah sakit tersebut ialah untuk menyembuhkan penyakit dari perwira dan pejabat Hindia Belanda sebelum keberangkatannya ke Eropa. Karena banyaknya penderita lepra di rumah sakit tersebut, maka fungsinya pun berubah menjadi lepratorium. Tempat inilah yang digunakan untuk memlindungi dan membina kembali para Tapol agar bisa kembali hidup bermasyarakat dengan normal.
Rutinitas  para Tapol di Kamp Plantungan dimulai dari pukul 04.00 WIB untuk Solat Shubuh dan dilanjutkan untuk senam dan apel pagi dari pukul 05.00 hingga 06.00, setelahnya para Tapol mandi dan juga sarapan hungga pukul 07.00. selanjutnya para Tapol memulai pekerjaan dengan unit kerja yang dibagi seperti administrasi, pekerjaan rumah, pertanian, kerajinan serta penjahitan. Unit kerja tersebut dilakukan dengan guna untuk menghidupi para Tapol di Kamp Plantungan. Pekerjaan ini dilakukan hinggal pukul 16.00 dengan istirahat makan siang pada pukul 12.00. setelahnya mereka mengisi waktu luang dengan berolahraga seperti tenis lapangan, tenis meja, bulu tangkis, serta bola voli. Pada malam hari, apel malam akan dilaksanakan pada pukul 21.00 dengan guna menghitung kembali bahwa seluruh blok (kelompok Tapol) terhitung lengkap sebelum tidur.
Kedatangan Tapol di Kamp Plantungan membuat warga sekitar Plantungan merasa aneh dan ketakutan karena dengan pakaian para Tapol yang kerap menggunakan celana pendek sangat berbeda dengan kebiasaan wanita di desa Plantungan dan juga karena cerita-cerita tentang Gerwani yang disebarkan oleh Media Massa.
Kehidupan Tapol di Kamp Plantungan juga tidak terbebas dari siksaan serta pelecehan seksual. Kamp Plantungan yang ditujukan untuk membina Tapol dirasakan sebagai tempat “penindasan halus”. Penindasan ini dilakukan oleh oknum militer yang berjaga di Kamp Plantungan, status para Tapol yang eks-Gerwani tersebut dimanfaatkan untuk direndahkan martabatnya sebagai Wanita. Para Tapol juga tidak diperbolehkan untuk berkumpul untuk mengobrol, membaca koran, atau pun menyimpan berbagai hiburan karena dianggap sebagai sebuah tindakan subversif.
Pembebasan para Tapol baru terjadi setelah Pemerintah Orde Baru mendapatkan tekanan dari dunia internasional, terutama ketika Palang Merah Internasioanl ke Plantungan yang diikuti oleh Media Internasional. Penyelesaian ini pun dimulai dari tahun 1975 hingga tahun 1977. Para Tapol yang bebas dari Kamp Plantungan tersebut pun tidak bisa lagi merasakan kehidupan normal bermasyarakat karena kebanyakan dari mereka disingkirkan oleh masyarakat akibat stigma yang membekas tentang cerita sadis para Gerwani.

0 komentar: