e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Marquee Player: Penggugah Harap Baru Bangsa Indonesia

Oleh Ibnu Gifar Ramzani
180310150058

Rusuh angkot vs ojek online? Atau aksi 313? Lupakan itu semua. Sebaiknya simpan dalam memori pribadi Anda, bahwa ada peristiwa penting lain yang lebih pantas untuk diingat dari bulan Maret tahun 2017 dalam kaleidoskop bangsa kita.
Peristiwa tersebut adalah bergabungnya dua (mantan) pemain kelas dunia ke Persib Bandung. Pemain pertama adalah Michael Essien. Pemilik 58 caps bagi Tim Nasional Ghana, bermain dalam dua edisi piala dunia (2006 & 2014), peraih 2 gelar Liga Inggris, 4 piala FA, dan 1 Liga Champions (semuanya diraih bersama Chelsea), serta berbagai prestasi hebat lainnya. Essien resmi bergabung dengan Persib pada selasa 14 Maret 2017.  "Essien sudah resmi bersama kita. Semoga Persib menjadi lebih baik," ucap Umuh Muchtar sebagai manajer tim yang dilansir dari Pikiran Rakyat edisi selasa 14 Maret 2017.
Pemain kedua adalah Carlton Cole. Meski karirnya tidak sementereng Essien, Cole tetap bisa dikategorikan sebagai pemain kelas dunia. Ia pernah bermain bagi Chelsea, West Ham, Aston Villa, dan beberapa tim lainnya. Cole juga sempat bermain bagi Tim Nasional Inggris, meski hanya memiliki 7 caps. Kepastian bergabungnya Cole disampaikan juga oleh Umuh Muchtar dalam sebuah acara on air di Radio PRFM. Dilansir dari Pikiran Rakyat edisi 29 Maret 2017, Ia mengatakan, "Saya bilang tunggu, saya belum berani pastikan itu sebelumnya, banyak yang bertanya, tapi sekarang dia (Cole) sudah resmi bergabung dengan Persib Bandung."

Marquee Player

Kedatangan kedua pemain ini terkait dengan dimulainya kebijakan Marquee Player yang telah ditetapkan oleh PSSI untuk digunakan dalam Liga Indonesia yang akan dimulai pada 15 April mendatang. Lalu, apa itu Marquee Player?
Sederhananya, Marquee Player adalah pemain yang merupakan mantan pemain “kelas dunia”. Lalu bagaimana kita bisa mendefinisikan “mantan pemain kelas dunia”? PSSI memberi beberapa kriteria, yaitu pernah bermain dalam satu di antara tiga perhelatan piala dunia terakhir (2014, 2010, 2006), berusia dibawah 35 tahun, dan pernah bermain di kompetisi utama di Eropa seperti Liga Inggris, La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, dan Serie A Itali.
Tujuan utama dari diterapkannya kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia, terutama dalam hal pamor. Dengan datangnya Essien dan Cole, diharapkan, animo masyarakat terhadap sepakbola nasional semakin meningkat. Keduanya juga diharapkan menjadi magnet bagi mantan pemain kelas dunia lain untuk mau bermain di Indonesia. Lalu, apakah kebijakan Marquee Player akan berdampak positif bagi sepakbola Indonesia? Kita bisa berkaca pada sejarah untuk mengetahui hal tersebut.

Jejak Langkah Pemain Dunia di Indonesia
Jejak langkah tersebut dapat kita rangkai dari awal mula kedatangan pemain asing ke Indonesia. Hadirnya pemain asing di Indonesia pertama kali terjadi pada musim kompetisi Liga Galatama III, tahun 1982-1983. Saat itu, terdapat dua tim yang menggunakan jasa pemain asing. Pertama adalah Tim Niac Mitra Surabaya yang mengontrak pemain asal Singapura bernama Fandi Ahmad dan David Lee. Kedua adalah Tim Pardedetex Medan yang mengontrak pemain asal Brasil bernama Jairo Matos dan Ulrich Wilson dari Jerman Barat. Dalam skripsi karya Erik Destiawan, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret tahun 2010 dengan judul GALATAMA 1979-1994 (PERKEMBANGAN SEPAKBOLA NON AMATIR DI INDONESIA), disebutkan bahwa Fandi Ahmad mendapat bayaran sebesar 22,5 juta Rupiah, sedangkan David Lee mendapat 15 juta Rupiah (halaman lix/59).
Kedua tim ini langsung merasakan dampak positif dari kehadiran para pemain asingnya. Disebutkan dalam skripsi tersebut, bahwa Tim Pardedetex bisa mencapai posisi 3 pada musim tersebut dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya yang hanya duduk di peringkat 5. Dampak lebih besar terasa bagi Tim Niac Mitra karena mereka berhasil menjadi juara.
Kebijakan pemain asing dilarang oleh PSSI pada musim berikutnya (1983) dan mulai diperbolehkan kembali pada tahun 1994. Pada tahun inilah sepakbola Indonesia mulai diramaikan oleh pemain asing yang bertahan hingga kini.
Kejutan langsung terjadi pada tahun pertama dibukanya kembali kebijakan tersebut. Mantan striker Kamerun yang bermain dalam Piala Dunia 1990 & 1994, Roger Milla bergabung dengan Tim Pelita Jaya di akhir Desember. Tajuk Rencana dalam Kompas edisi Rabu 5 Januari 1995 bahkan diberi judul “Kehadiran Roger Milla Bisa Jadi Pemicu Memperbaiki Liga”. Tahun 1996, Indonesia kedatangan pemain dunia dengan nama yang lebih besar. Dia adalah Mario Kempes, anggota Tim Argentina ketika juara Piala Dunia 1978, yang dikontrak Tim Pelita Jaya sebagai Pelatih sekaligus Pemain (Kompas edisi Jumat 2 Februari 1996.)

Penggugah Harapan

Berkaca dari sejarah tersebut, kita bisa mengambil satu benang inti, bahwa kehadiran pemain dunia selalu dianggap sebagai pendongkark gairah animo sepakbola nasional. Lalu, apa dampak positif lain yang telah bisa kita ambil? Entah. Karena saya tidak sempat mengalami zeitgeist kehadiran Milla dan Kempes itu dulu. Maka dari itu, jika boleh membandingkan, kondisi sepakbola Indonesia kini, di jaman saya ini, sedang berada dalam masa “taubat”nya. Hal ini ditandai dengan terpilihnya kepengurusan PSSI yang baru pada tahun 2016 lalu setelah beberapa tahun ke belakang kita hanya disuguhi konflik-konflik memuakkan seperti dualisme pengurus atau intervensi pemerintah yang berujung sanksi FIFA. Belum lagi ditambah dengan semangat nasional akibat dampak dari hasil Tim Nasional Indonesia di Piala AFF 2016 yang berhasil menjadi runner up. Padahal saat itu, Indonesia baru saja lepas dari sanksi FIFA sehingga kurang lebih satu tahun Tim Nasional kita vakum.
Praktis, kondisi positif di atas bak gayung bersambut dengan kehadiran Essien dan Cole. Secara fisik dan teknik, mereka berdua mungkin memang telah habis. Tapi tidak begitu halnya dengan pengalaman. Mereka berdua bisa mengajari kita bagaimana bersikap sebagai seorang atlet yang menjunjung tinggi nilai fair play, mengajari kita tentang nilai-nilai disiplin dan kerja keras seperti yang telah mengantarkan mereka pada kejayaan, mengajarkan kita untuk menghormati seorang wasit, dan banyak pelajaran lebih sederhana lain yang dapat kita ambil. Intinya, kehadiran Essien dan Cole serta mungkin marquee player lainnya yang akan datang bisa membawa sepakbola nasional pada kondisi perbaikan.
Hadirnya mereka di Indonesia pastinya karena sebuah alasan. Entah itu karena bayaran yang besar, atomosfer yang menggairahkan, kondisi Indonesia yang nyaman, atau keramah-tamahan rakyat kita yang sering diperbincangkan orang luar. Namun bagi saya, kehadiran mereka saja sudahlah cukup untuk menumbuhkan secercah harapan. Harapan untuk membuktikan bahwa kita memang benar adalah sebuah bangsa yang bisa menjalankan peran masing-masing dalam kehidupan bernegara, entah itu sebagai pemain, pengurus, pendukung, presiden, anggot DPR,  ustadz, habib, atau rakyat kecil sekalipun dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Semoga.

DAFTAR SUMBER
Skripsi Erik Destiawan, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Surakarta, tahun 2010 dengan judul “Galatama 1979-1994 (Perkembangan Sepakbola Non Amatir Indonesia).”
http://www.kompasdata.id/Search/NewsDetail/18504151 (Diakses pada Minggu, 2 April 2017, pukul 05.59 WIB)
http://www.kompasdata.id/Search/NewsDetail/18839380 (Diakses pada Minggu, 2 April 2017, pukul 07.53 WIB)
http://www.kompasdata.id/Search/NewsDetail/18268668 (Diakses pada Minggu, 2 April 2017, pukul 08.00 WIB)

0 komentar: