SURAT PERINTAH SEBELAS MARET DAN KONTROVERSI DIDALAMNYA

Oleh Randa Lemido

180310150092

Surat Perintah 11 Maret atau sering disebut Supersemar adalah Surat Perintah yang dikeluarkan oleh Soekarno kepada Soeharto, setelah tiga Jendral berinisiatif menemui Soekarno di Istana Bogor, akibat terjadinya penghentian Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Negara, Jakarta, pada pagi hari tanggal 11 Maret 1966.

Meski sudah berumur lebih dari setengah abad, Surat Perintah 11 Maret masih menimbulkan berbagai kontroversi. Surat Perintah 11 Maret merupakan salah satu jenis arsip kepresidenan berupa "Surat Perintah", yang benilai kesejarahan sangat tinggi, khususnya sejarah awal Orde Baru. Sebagai bagian dari catatan penting sejarah perjalanan bangsa Indonesia, naskah asli Supersemar belum juga ditemukan. Hal ini menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat, apakah benar penandatanganan Surat Perintah 11 Maret dibawah todongan pistol, dan apaka surat itu benar-benar ada?

Pasca terjadinya pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan membunuh enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwira pertama, terjadi krisis di berbagai sektor kehidupan karena pemerintahan tidak dapat menjalankan fungsinya, partai politik dan organisasi masyarakat menuntut pembubaran PKI, mahasiswa dan pelajar mogok belajar dan terjadi demo setiap hari.

Awalnya, Soekarno tidak mau membubarkan PKI, seperti yang sering ia katakana kepada Soeharto dan juga jenderal atau mentri lainnya. Ada perbedaan antara beberapa dialog yang dilakukan oleh Soeharto dan Soekarno dengan dialog yang dilakukan oleh ketiga jenderal itu di Istana Bogor. Perbedaan yang mencolok adalah sikap “lebih keras” yang terlihat dari argumentasi yang disampaikan oleh ketiga jenderal tersebut. Sebelumnya, Soeharto atau siapa pun akan berhenti bicara bila Soekarno bersikeras, namun kali ini ketiga jenderal tersebut cenderung agak mendesak Soekarno agar menuntaskan sikap secara jelas.

Diantara argumen yang berhasil “dipatahkan” oleh ketiga jenderal tersebut adalah pendapat Soekarno untuk memisahkan antara oknum dengan PKI yang diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Menurut mereka partai dan orang adalah kesatuan gerak, sehingga sama-sama bersalah. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa wibawa Soekarno sebagai Presiden akan jatuh apabila ia mengingkari Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dengan membuang unsur “kom” nya. Hal penting lain yang berhasil diyakinkan kepada Soekarno adalah ABRI akan menjamin keselamatan Soekarno dan keluarganya seiring banyaknya terjadi kekacauan. Soeharto yang merupakan pimpinan TNI-AD tentu dihomati dan dipercaya oleh jajaran dibawahnya.

Setelah akhirnya setuju dengan konsep pemberian “kewenangan” kepada Soeharto, langsunglah dilakukan perancangan mengenai isi konsep tersebut ntara Soekarno, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadie Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal Amir Mahmud, Soebandrio (Wakil Perdana Menteri I), Chairul Saleh (Wakil Perdana Menteri II), Dr. Leimena (Wakil Perdana Menteri III),  yang disaksikan oleh Brigadir Jenderal M. Sabur dan Ibu Hartini. Dimulai dari pukul 3 sampai pukul 6 sore, kemudian dilanjutkan setelah sholat Maghrib dari pukul 7 sampai pukul 9 malam. Membutuh waktu 5 jam untuk dapat merumuskan surat perintah tersebut sampai disetujui oleh Soekarno, dan diketik sebanyak dua lembar oleh Brigjen M. Sabur.

Pada bulan Agustus 1998, seorang bekas anggota Resimen Cakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito, membuat pengakuan yang menghebohkan di depan pers. Ia mengatakan bahwa Surat Perintah 11 Maret itu ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno dibawah todongan pistol. Yang melakukan penodongan adalah Mayjen Basuki Rachmat dan Mayjen Maraden Panggabean.

Berita tersebut kemudian menjadi diskusi dan wacana yang ramai di masyarakat selama berminggu-minggu karena adanya tiga pengakuan baru, yaitu :

1. Penodongan dengan pistol yang belum pernah diungkapkan oleh siapapun.
2. Ia juga mengatakan bahwa Brigjen M. Jusuf membawa map yang berisi surat yang siap ditanda-tangani oleh Soekarno.
3. Munculnya nama Mayjen Maraden Panggabean sebagai orang keempat yang tidak pernah disebut sebelumnya.

Terciptanya berbagai opini dalam masyarakat yang simpang siur akhirnya membuat M, Jusuf yang selama beberapa tahun tidak mau berbicara mengenai Surat Perintah 11 Maret secara terbuka mengeluarkan pernyataan pers, yaitu Mayjen Maraden Panggabean tidak ikut ke Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Kemudian sama dengan Amir Mahmud, dikatakan bahwa tidak benar mereka membawa map berisi surat yang siap untuk diberikan kepada Soekarno. Amir Mahmud juga tidak pernah menyebut-nyebut nama lain yang muncul selain mereka bertiga yaitu Basuki, Amir, dan Jusuf yang mendatangi Soekarno.

Mantan Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa Koolonel M. Saelan mengakui bahwa memang ada anak  buahnya yang bernama Soekardjo Wilardjito, tetapi tidak mungkin orang seperti dia biss mendekati Soekarno di istana dalam jarak yang begitu dekat, karena ia bukanlah Pengawal Pribadi Presiden. Diperkirakan bahwa pernyataan Soekardjo Wilardjito tersebut merupakan konspirasi pihak kiri yang pernah ditumpas oleh rezim Orde Baru.

Pada tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno pernah berpidato dengan judul “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”, yang antara lain mengatakan :

“Surat Perintah Sebelas Maret itu mula-mula, dan nampak dalam kurun waktu, membuat mereka bertempik sorak kesenangan, dikiranya SP 11 Maret adalah penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority. Padahal tidak! SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Demikian kataku waktu melantik kabinet. Kecuali itu, perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik, dan saya mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal itu”.

Dari pidato tersebut jelas bahwa :

• Surat Perintah 11 Maret diucapkan berulang kali oleh Soekarno sebagai bukti keberadaan dan keabsahan surat perintah tersebut.
• Soekarno dengan tegas mengatakan Soeharto telah melaksanakan “perintah itu” dengan baik.
• Soekarno dengan tegas mengucapkan “terima kasih kepada Soeharto atas pelaksanaan Surat Perintah 11 Maret.

Sumber :

Mahpudi dkk. 2011. Pak Harto The Untold Stories. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

Nuh, Nur Johan. 2013. Bung Karno, Pak Harto dan Surat Perintah 11 Maret 1966. Jakarta: Yayasan Kajian Citra Bangsa.

_____________. 2016. Kronologi Surat Perintah 11 Maret 2016. Jakarta: Yayasan Kajian Citra Bangsa.