INDONESIA DAN UNUSUAL LOCAL CUISINES

Oleh Dika Putra Perkasa

180310150057 

Berbicara tentang kuliner memang tidak ada habisnya. Setiap wilayah punya ciri khas kuliner dengan cara pembuatan, rasa, dan bentuk masing-masing. Ada yang orisinil dan ada pula yang peranakan, yaitu mengadopsi resep yang berasal dari wilayah lain lewat jalur perdagangan atau penjajahan.

Indonesia dengan kuliner lokalnya memang sangat beragam. Saking beragamnya, Indonesia seperti tidak mempunyai kuliner nasional. Jika menyebut sate, maka orang Indonesia langsung berpikir apakah itu Sate Padang, Sate Solo, atau Sate Madura. Bahkan sesederhana Martabak yang ada di setiap sudut jalan berbagai tempat di Indonesia pun punya asal daerahnya sendiri.

Dalam keberagaman kuliner, selalu saja ada yang menarik perhatian. Selain kuliner dengan rasa yang enak, sedang naik daun sebagai kuliner kelas atas, atau penyesuaian kembali kuliner yang dibuat dengan cara dan model paling terkini. Namun, ada juga kuliner “tidak biasa” atau kuliner ekstrim ---sebutan bagi orang-orang yang baru mengetahui dan mencicipi---. Seperti, misalnya, Filipina dengan Balut, yaitu embrio bebek yang dimakan langsung atau Swedia dengan Surstromming, ikan herring yang diawetkan selama beberapa bulan dan terkenal dengan bau busuk dari ikan maupun cairannya.

Indonesia tentu tidak kalah aneh, terutama dari kuliner lokal. Tempe Bosok (Busuk) adalah satu satu kuliner “tidak biasa” yang berasal dari Jawa Tengah-Timur seperti Yogyakarta, Pemalang, Purbalingga, dan beberapa daerah lainnya. Tempe Bosok sebenarnya tempe yang mengalami fermentasi lebih lanjut. Tempe Bosok biasanya digunakan sebagai bahan penyedap dengan cara dihaluskan dan dicampur dengan masakan. Penggunaan Tempe Bosok sebagai bahan penyedap akan menciptakan rasa dan aroma yang khas. Tempe Bosok aman dikonsumsi jika tempenya masih setengah busuk (semangit) dan tidak melebihi jangka waktu setahun.

Bali sebagai salah satu daerah pariwisata yang dimiliki Indonesia juga mempunyai kuliner “tidak biasa”. Lawar merupakan makanan khas Bali yang terbuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan daging cincang (ayam, babi, atau penyu) dan ditambahkan dengan darah setengah matang (biasanya berasal dari hewan yang dijadikan daging cincang Lawar) serta bumbu-bumbu khas Bali. Lawar merupakan masakan wajib pada pesta-pesta adat di Bali. Dalam filosofinya, Lawar merupakan kuliner yang mengandung keharmonisan dan keseimbangan. Parutan kelapa melambangkan warna putih yang menjadi simbol Dewa Iswara di Timur, darah melambangkan warna merah yang menjadi simbol Dewa Brahma di Selatan, bumbu-bumbu khas Bali melambangkan warna kuning yang menjadi simbol Dewa Mahadewa di Barat, dan terasi melambangkan warna hitam yang menjadi simbol Dewa Wisnu di Utara. Keempat arah mata angin itulah yang memfilosofikan Lawar sebagai bentuk dari keseimbangan dalam kepercayaan masyarakat Bali.

Jambi yang terkenal dengan buah duriannya mempunyai kuliner “tidak biasa” yang bahan utamanya juga durian, Tempoyak namanya. Tempoyak merupakan kuliner khas Jambi yang dibuat dari durian yang difermentasikan menggunakan garam selama 5-7 hari. Citarasa yang dikeluarkan kuliner ini masam dan memiliki aroma busuk kecut. Tempoyak biasanya dikonsumsi bersama nasi dan lauk pauk lainnya.  Dalam riwayat Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang sastrawan Melayu asal Turki, ketika berkunjung ke Terengganu sekitar tahun 1836 dikatakan bahwa salah satu makanan kegemaran penduduk Terengganu adalah Tempoyak. Tempoyak merupakan makanan suku Melayu yang tersebar di Indonesia (Palembang, Lampung, Kalimantan) dan Malaysia.

Ampo, mungkin orang-orang di Jawa sendiri saja jarang atau bahkan tidak pernah mendengarnya. Cemilan ini merupakan cemilan khas yang berasal dari kampung pedalaman Jawa seperti daerah Tuban dan beberapa daerah lainnya. Namun, modernisasi kuliner membuat cemilan ini semakin jarang ditemukan walaupun dulu masih banyak dijual di beberapa pasar. Padahal, Ampo merupakan cemilan yang berbeda dari yang lainnya. Ampo merupakan “cemilan yang bukan cemilan” karena bahan utama dan satu-satunya adalah tanah liat. Ya, sama saja memakan tanah liat. Cemilan ini merupakan cemilan tradisional yang dipercaya oleh beberapa masyarakat kuno Jawa dapat menguatkan sistem pencernaan dan bahkan mengobati penyakit tertentu. Tidak ada resep khusus untuk membuat Ampo. Pertama, carilah tanah liat yang bersih dari kerikil lalu ditumbuk halus dan dipadatkan menjadi bentuk segi empat. Diamkan sebentar agar tidak terlalu lembek kemudian dikikis menggunakan stik dan kikisannya akan membentuk seperti gulungan. Gulungan-gulungan tanah liat tersebut lalu dibakar dan diasapi selama satu jam. Setelah itu, Ampo sudah siap dijadikan cemilan yang dapat dimakan.

Ampo menjadi cemilan kegemaran masyarakat Jawa kuno karena memiliki aroma khas seperti bau tanah yang dibakar atau tanah yang terkena hujan. Oleh karena itu, wanita hamil muda dahulu menyukai cemilan ini.

Masih banyak kuliner “tidak biasa” Indonesia untuk dibahas seperti Pakasam khas Suku Banjar dari Kalimantan Selatan, Sate Biawak dari Jawa, Bothok Tawon dari Jawa khususnya Banyuwangi, Ulat Sagu dari Papua, Paniki Santan dari Sulawesi Utara, Rujak Cingur dari Surabaya, Tikus Panggang dari Minahasa, dan masih banyak lagi. Indonesia memang dianugerahi keanekaragaman kuliner yang luar biasa. Tidak ada salahnya sebagai orang Indonesia mencoba untuk mencicipi kuliner-kuliner tersebut, bahkan yang “tidak biasa” sekalipun.

Daftar Sumber 

Buku

Rahman, Fadly. 2016. Jejak Rasa Nusantara : Sejarah Makanan Indonesia.

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Internet

“17 Hidangan yang Paling Aneh di Seluruh Dunia.” IDNTimes. 7 Oktober 2016.

Web. 1 April 2017. <https://food.idntimes.com/dining-guide/alvin- surya-

pratama/17-hidangan- yang-paling- tidak-biasa- dari-seluruh- dunia/full>