e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

51 TAHUN SUPERSEMAR

Tri Apriansyah
180310150015



Sudah 51 tahun berlalu, Surat Perintah Sebelas Maret atau yang biasa disingkat Supersemar  ini benar benar menjadi misteri yang terus menerus diperdebatkan.
Dalam buku berjudul “Mereka Menodong Bung Karno” Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu bersaksi. Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Pintu kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah muda di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti ditandatangani Sukarno. Pistol FN-46 ditodongkan Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa untuk meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.
Sukadirjo mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun, Soekarno menyuruh pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya.
Saat membaca isi naskah di map merah itu, kata dia, Soekarno sempat bertanya “Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!” Secara refleks, kata Sukardjo, ia melihat naskah tersebut.
Kop surat, kata dia, tidak ada lambang kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di sisi kiri atas surat tersebut.
“Untuk mengubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah,” kata Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.
Surat yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu akhirnya diteken oleh Soekarno. Keempat jenderal utusan Soeharto itu lantas membawa surat dengan sumringah. Setelah kejadian itu, Soekarno langsung mewanti-wanti Sukardjo.
“Kamu harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujar Sukardjo menirukan pesan Soekarno saat itu.
Dan benar saja, tak lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan RPKAD untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa peradilan selama 14 tahun. Selama ditahan, ia menerima penyiksaan, seperti disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Meski banyak yang membantah cerita tersebut, setidaknya itulah kesaksian dari Sukardjo, pengawal presiden, yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul 01.00 WIB. Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean yang saat itu menjadi utusan Soeharto. Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”
Isi dari Surat Perintah Sebelas Maret itu sendiri lagi lagi masih menjadi kontroversi, hal tersebut terlihat jelas dengan adanya beberapa versi tentang peristiwa Supersemar, ada tiga versi surat yang menyatakan bahwa itulah naskah asli dari Supersemar.
Versi Pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Soekarno.
Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.
Versi Ketiga, surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.
Dari ketiga versi surat ini, semua berisi perintah yang diinstruksikan Soekarno terhadap Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Setelah menerima surat tersebut Soeharto berinisiatif membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 yang ditandatanganinya pukul 04.00 Sabtu, 12 Maret 1966. Surat itu dibuat mengatasnamakan presiden dengan modal mandat Supersemar yang ditafsir Soeharto sendiri.
Probosutedjo, adik Soeharto, mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada kalimat yang menyebutkan untuk membubarkan PKI di dalam Supersemar. “Tetapi Mas Harto memiliki keyakinan bahwa pemulihan keamanan hanya akan terjadi jika PKI dibubarkan,” katanya dalam memoar Saya dan Mas Harto.
Sejumlah organisasi massa mulai bergabung melancarkan demostrasi.  Menurut Jusuf Wanandi, demonstrasi kemenangan itu merupakan show of force dan pameran persatuan unsur-unsur angkatan bersenjata yang pro-Soeharto dengan rakyat, terutama mahasiswa dan pemuda. Dalam demonstrasi tersebut, “salinan Supersemar dan surat pembubaran PKI disebarluaskan,” kata Jusuf dalam memoarnyaMenyibak Tabir Orde Baru.
Dengan melihat demonstrasi Supersemar itu. Pada 14 Maret 1966, Soekarno mengisyaratkan kemarahannya dia memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke Istana dan memarahi mereka. Dia menegaskan bahwa Supersemar tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI.
Soeharto menanggapi kemarahan Soekarno dengan tetap tenang. Jusuf berpendapat “Mungkin karena miskin, susah di masa mudanya, dia mempunyai kekuatan batin yang hebat. Dia bisa saja menyerah saat itu, tetapi dia tidak mau. Dia berlaku pura-pura tidak tahu.” Sesudahnya, Soeharto menetralisasi satu per satu para panglima itu agar berada di belakangnya.
Soeharto mengambil langkah cepat untuk mengadakan Sidang MPRS guna mengeluarkan ketetapan yang mengkukuhkan Supersemar. Pada 20 Juni-6 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum. Pidato pertanggungjawaban Sukarno yang berjudulNawaksara, ditolak MPRS. Pada saat yang sama, MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tetang Supersemar.
TAP MPRS itu juga tidak menyebut kewajiban untuk melindungi Sukarno, keluarga, ideologi, dan ajarannya. Padahal di dalam Supersemar disebutkan bahwa pengemban amanah wajib melakukan itu. “Inilah bukti kelicikan Soeharto agar dia tidak terdorong untuk berhadapan dengan Soekarno,” ujar Jusuf, “Pendekatan bertahap ini berhasil”
Jusuf menyimpulkan, Supersemar adalah “kemenangan hukum dan politik Soeharto, walaupun belum sepenuhnya karena secara konstitusional Soekarno masih presiden dan masih berkuasa.” Soeharto baru berkuasa penuh ketika dilantik sebagai penjabat presiden pada 12 Maret 1967.
Setelah itu, jangankan melindungi Sukarno, Soeharto malah menjadikan Sukarno “tahanan rumah” di Istana Bogor, kemudian di Wisma Yaso di Jakarta. Sukarno juga menjalani interogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang baru dihentikan setelah dia sakit parah. Selama sakit, Sukarno tidak mendapatkan perawatan yang baik, sampai meninggal pada 21 Juni 1970.

Sumber:
Wilardjito, Soekardjo. 2008. "Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden". Galangpress Group: Yogyakarta.

Wanandi, Jusuf. 2014. "Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965 - -1998". Kompas Media Nusantara: Jakarta.

0 komentar: