e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

KEPO: Ramah atau Basa-basi?


Oleh: Friska Dwiana L.
180310150069



Knowing Every Particular Objects atau yang sering disingkat dengan KEPO adalah sebuah kosakata baru yang saat ini sedang menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak orang mengatakan bahwa kepo adalah bentuk kepedulian, banyak juga yang mengatakan bahwa kepo adalah sikap ikut campur mengenai masalah seseorang. Budaya kepo kini mulai menjamur di Indonesia. Penyebabnya adalah gaya hidup (lifestyle) orang Indonesia sendiri yang terlalu ramah sehingga menanyakan banyak hal yang dirasa tidak penting untuk dipertanyakan. Bagi orang Indonesia sendiri, sikap “terlalu ramah” dengan menanyakan banyak hal kepada orang lain dianggap sebagai hal yang lumrah, namun bagaimana dengan pandangan masyarakat luar mengenai fenomena “terlalu ramah” ini.
“Kamu tadi siang makan apa?”, “Kamu punya anak berapa?”, “Kamu tinggal dimana?”, “Kapan menikah?”, “Asalnya dari mana?”
Begitulah kira-kira kata-kata yang sering muncul di tiap tempat umum di Indonesia. Masyarakat Indonesia dikenal dengan sikap ramah tamahnya terhadap masyarakat luar yang sering berkunjung ke Indonesia. Sikap ramah tamah memang begitu diterapkan secara turun-temurun oleh orang Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, budaya ramah ini muncul dengan bentuk dan sifat berdasarkan fenomena yang baru-baru ini berkembang di masyarakat. Konteks ramah yang diterapkan masyarakat Indonesia dengan mengajukan pertanyaan, yang dapat dikatakan sebagai pertanyaan “basa-basi” ini, berubah menjadi bentuk baru yang dinamakan dengan kepo.
Menurut beberapa sumber, kepo berasal dari Bahasa Hokkian. Kepo berasal dari kata kay dan poh. Kay berarti bertanya dan poh berarti apo atau nenek-nenek, sehingga kepo berarti nenek-nenek yang suka bertanya. Dalam Wikitionary, ‘kaypoh’ berarti busy body atau orang yang suka mencampuri urusan orang lain.
“Kay poh (or Kaypo) Chinese origins (written as 雞婆 in Chinese). Refers to a person that is nosey parker or busy body. Eg 'Eh, Don't be so kaypoh leh!'. Sometimes abbreviated as "KPO".” (Wikitionary)
Saat ini, kata kepo sangat sering digunakan sebagai Bahasa sehari-hari yang menandakan kepada seseorang yang ingin ikut campur urusan orang lain. Hal inilah yang ternyata menyebabkan ketidaknyamanan bagi para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Sebagian dari mereka menganggap hal ini hanyalah sebatas bentuk keramahan orang Indonesia, namun sebagian lainnya justru merasa tidak nyaman akan sikap terlalu ramah dan bahkan menganggapnya sebagai bentuk mencampuri urusan orang lain, meskipun maksud orang Indonesia sendiri hanya membuka pembicaraan saja.
Berdasarkan buku WNI Dilarang Baca! karya Christophe Dorigne Thomson, orang Indonesia yang terlalu mencampuri urusan orang lain dianggap sebagai sesuatu yang aneh bagi penulis yang notabennya adalah seorang “bule”. Beliau mengatakan bahwa terkadang dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada mereka (orang asing), mereka akan semakin pusing dan semakin malas untuk menjawab pertanyaan itu. Orang asing cenderung hidup individualis. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan dengan mencampuri urusan orang lain.
Meskipun bentuk budaya individualis masyarakat asing sudah mulai menjamuri Indonesia, nyatanya, bentuk ramah tamah orang Indonesia masih patut diacungi jempol. Budaya individualis yang dibawa oleh pelajar atau WNI ke Indonesia ternyata hanya sebagian saja mempengaruhi budaya ramah tamah. Budaya ramah tamah masih kental di Indonesia, dan bahkan menyebabkan masyarakat asing yang berkunjung ke Indonesia takjub dan mengakui keramahan masyarakat Indonesia.
Sayangnya, dengan munculnya kreatifitas yang berlebih di kalangan anak muda saat ini, menyebabkan bentuk ramah tamah ini berubah menjadi bentuk yang mengganggu. Ditambah dengan semakin banyaknya penyebaran individualism dari luar ke Indonesia menyebabkan orang terlalu mengkotak-kotakan dirinya sehingga tidak lagi peduli dan ramah terhadap satu dan lainnya. Hal inilah yang menimbulkan konflik, antara mereka yang sudah terkulturalisasi dengan mereka yang masih menjaga kebudayaan. Mereka yang terkulturalisasi menganggap hal ‘ramah’ itu menjadi ‘terlalu ramah’ dan berfikir bahwa hal itu mengganggu kehidupan mereka. Ramah itulah yang berubah menjadi kepo. “Ah apaan sih lu kepo banget!” Begitu kira-kira bentuk sanggahan dari mereka yang terkulturalisasi.
Kepo muncul sebagai bentuk baru yang menandakan kepedulian. Namun juga dalam waktu yang sama menandakan rasa ingin tahu sebagai bentuk menjatuhkan. Oleh sebab itu, sebenarnya, masyarakat perlu membedakan mana bentuk kepo sebagai bentuk kepedulian dengan bentuk kepo sebagai bentuk rasa ingin tahu untuk mencari kelemahan. Kepo pada zaman dahulu dan kepo pada zaman sekarang dapat dikatakan berbeda. Bila dahulu kepo dianggap sebagai bentuk ‘basa-basi’ untuk membuka pembicaraan, sekarang kepo berubah fungsi menjadi pencarian informasi sebagai bahan ‘gosip’.
Pada dasarnya, kepo sebenarnya boleh-boleh saja untuk disebarluaskan dan diterapkan. Hanya saja kepo perlu dibatasi. Kepo dalam batas yang wajar masih dapat dimaklumi, sedangkan kepo yang berlebihan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Meski sepele, kepo mungkin saja dapat menjadi ancaman, khususnya para remaja, yang rasanya saat ini sudah terjerat dengan dampak buruk kepo melalui komunikasi media sosial maupun komunikasi secara langsung. Terlebih hal ini dikarenakan sifat masyarakat Indonesia saat ini yang sangat rentan terhadap hal-hal sepele yang mengganggu kehidupan mereka atau bahkan kehidupan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Jadi, berkepolah selama kepo itu masih wajar untuk dilakukan, dan tetap lestarikanlah kebudayaan orang Indonesia yang tanpa disadari telah mendarah daging di dalam hidup kita.


Daftar Sumber:
Bellah, Robert N., dkk. 2008. Habits of The Heart: Individualism and Commitment in American Life. England: University of California Press.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Thomson, Christophe Dorigne. 2015. WNI Dilarang Baca! Yogyakarta: B First.


Internet:
https://www.wiktionary.org/ (diakses pada 1 April 2017)

0 komentar: