Tanggal ini, Orde Berganti

Oleh Muhammad Dzauhar Azani 

180310150041

Tepatnya tanggal 27 Maret 1967, merupakan hari yang bersejarah dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, negara ini mengalami sebuah peristiwa pergantian dari orde yang telah berkuasa sejak 18 Agustus 1945, mengalami usaha-usaha Reconquista oleh penjajahnya, kabinet yang jatuh bangun karena percobaan sistem pemerintahan beserta pemberontakan disintegratif bermacam-macam warna, diserahkan kepada orde yang nantinya akan berkuasa 32 tahun penuh dengan permainan di lingkungan tahtanya. Hal ini ditandai dengan pelantikan Soeharto, seorang jenderal yang diangkat atas tindakan “heroik”-nya memberantas Gerakan 30 September 1965 sebelumnya, oleh MPR yang sebenarnya relatif akan meloloskannya untuk mengganti Soekarno, presiden saat itu.

Pergantian orde ini bukanlah sekedar menceritakan sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lampau dalam sejarah bangsa Indonesia, kemudian sekedar diketahui oleh mungkin sebagian masyarakat saja. Tetapi perlu diketahui, ada sebuah dampak sangat signifikan yang terjadi hingga saat ini. Dampak-dampak yang ada, merupakan hasil karya daripada penguasa orde saat itu untuk memberikan sebuah ciri khas, atau sebutnya adalah “prestasi”. Baik Soekarno, baik Soeharto, mereka memiliki kisah-kisah, bukti-bukti, serta pangaruh transparan ketika mereka berkuasa, dan bagaimana mereka menanggalkan kekuasaanya di kala takdir yang mungkin adalah alasanya.

Soekarno, seorang revolusioner yang telah berkali-kali masuk penjara tatkala dengan tulisanya dan ucapanya membawa masyarakat dari setiap “warna” untuk menyatukan pikiran serta gerakan melawan kolonialisme/ imperialism saat itu, merancangt bagaiamana Indonesia menjadi negara percontohan nan disegani disamping negara-negara indutrialis pasca Perang Dunia II. Devisa negara dikucurkan sederas-derasnya untuk membeli persenjataan guna membebaskan setengah bagian barat pulau cenderawasih, menantang negara antek-antek bekas pemilik imperium terbesar yang menggunakan commonwealth sebagai alternatif mempertahankan hegemoninya, dan menumpas “kutu-kutu” pengganggu keamanan di luar ibukota. Para arsitek dan seniman rupa disibukan oleh proyek-proyek untuk membangun monumen-monumen, hotel, jalan, dan stadion guna memancing rasa kagum negara-negara yang diundang untuk mengikuti sebuah pagelaran olahraga pesaing olimpiade saat itu. kabinet, dan lembaga-lembaga tinggi negara, anggotanya diisi oleh kehendaknya atas sebuah pembuktian daripada sistem demokrasi terpimpin hasil prakarsanya.

Namun yang terselimut di dalamnya, masyarakat harus mengantri guna memperoleh modal hidup di hari esok, disebabkan jumlah dan harga modal yang tak seimbang karena semakin seringnya uang dicetak untuk membiayai kebijakan-kebijakan sang penguasa. Pertarungan antara kelompok kepentingan berbuah menjadi aksi demonstrasi, saling culik, saling aniyaya, dan saling berusaha berlindung dibalik singasana penguasa. Bagi yang dapat kesempatan berlindung di balik singasana, diberi posisi serta wewenang untuk mencurahkan niat-niatnya.

Hingga akhirnya sebuah peristiwa pada dini hari 1 Oktober 1965, menjadi pembuka jalan menuju jurang kejatuhan kekuasaan Soekarno. PKI yang menurut angkatan bersenjata menjadi aktor dan penyebab peristiwa tersebut, ditampik oleh pikiran nasakomnya yang ia masih pertahankan. Namun sebagian masyarakat yang dipimpinnya, telah benar-benar merasa menderita akibat setiap kebijakannya dan mulai beraksi turun ke jalan menuntut kesejahteraan dan perbaikan. Hawa aksi tersebut semakin cepat menyentuh beranda istana, sehingga Soekarno meberikan sebuah surat yang masih misterius keberadaan dan kebenaranya hingga saat ini, kepada Jenderal Soeharto untuk segera menenteramkan keadaan. Tetapi selanjutya, surat tersebut mengantarkanya kepada hari dimana ia kehilangan kekuasaannya setelah pelantikan itu terjadi. Kemudian Soekarno harus mengisi sisa usianya dengan penyakit misterius, dan kehidupan yang rasanya bagai bumi dengan langit hingga kematiannya tatkala di orde kekuasaan Soeharto.

Soeharto, jenderal yang dikatakan dalam otobiografi merupakan keturunan penjaga irigasi dan diasuh oleh pamanya, seorang pemilik jabatan setempat di daerah Yogyakarta. Setelah peristiwa “heroik”-nya dalam Serangan Umum Satu Maret 1949, ia meniti karirnya hingga menjadi seorang panglima angkatan darat, kareana jabatan tersebut ditinggalkan setelah yang memangkunya ditemukan di sumur Lubang buaya pada 4 Oktober 1965. Jabatanya kemudian beralih sebagai kabinet di akhir kekuasaan Soekarno, dan akhirnya dijadikan sebagai presiden oleh MPRS yang anggotanya dibersihkan dari unsur PKI dan pro-orde lama.

Selama 32 tahun, ia berusaha memperbaiki keadaan yang saat itu dipandang sangat mengajar kehidupan bangsa Indonesia dengan mengundang para investor dan para bankir negara- negara barat untuk mengucurkan dananya. Alhasil, terciptalah sebuah kubangan dalam berisi emas di barat pulau cenderawasih yang hasilnya sebagian besar diangkut ke luar negeri, dan hasilnya tidak begitu signifikan bagi masyarakat sekitarnya. Pabrik-pabrik penghasil produk barta yang dikatakan modern saat itu, menghujam tanah-tanah pertanian dan perkebunan milik masyarakat di dekat ibukota. Modal hidup berupa bahan pokok dari “bantuan” luar negeri, sangat berlimpah membuat sebagian masyarakat hampir tak ada yang kelaparan. Negara disetelnya untuk memperbaiki hubungan dengan negara antek-antek, dan berujung pada pembentukan sebuah asosiasi regional yang masih berdiri hingga saat ini. Ibukota disulap menjadi kota penuh gedung pecakar langit dan perumahan mewah, dan dihubungkan dengan jalan bebas hambatan karya arsitek serta kontaktor impor. Media massa hampir berisi prestasi-prestasi atas kebijakanya, dan promosi produk-produk impor untuk memperoleh pemikiran konsumtif dari masyarakat saat itu.

Namun tetap di dalamnya, terselimut sebuah peristiwa pembantaian yang jumlanhya masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Masyarakat kecil meskipun telah terpenuhi rasa laparnya, harus tersingkir dari tanahnya yang telah menjadi gedung pecakar langit, perumahan, dan jalan bebas hambatan. Kalaupun akan melawan dan protes, mereka akan dianggap sebagai anti pembangunan yang berujung pada sebuah penyematan simpatisan kaum kiri. Demokrasi Pancasila yang merupakan panutan, dijadikan sebagai alasan untuk mengamankan kekuasaan penuh permainan suara pemilu, undang-undang, dan hak istimewa. Media massa dan kalangan terpelajar yang tersadarakan akan keadaan tersebut dan terdorong untuk turun ke jalan, di tumpas habis secara represif oleh aparat keamanan dengan peluru tajam dan penghilangan secara misterius.

Hingga akhirnya, setelah kenikmatan bercampur intrik-intrik terselubung berjalan memasuki periode kedelapan, tibalah jatuh tempo “bantuan” luar negeri yang ternyata menjadi hutang berlipat-lipat dan menjadi badai krisis di Indonesia. Badai itu membuat masyarakat harus memborong matang uang dollar untuk memperoleh bahan pokok yang harganya naik tak tahu diri, membuat para pekerja digiring keluar dari tempatnya yang tinggal menunggu hari untuk gulung tikar, membuat mahasiswa untuk turun ke jalan menuntut satu kata yaitu reformasi, dan membuat ibukota penuh asap karena penjarahan oleh masyarakat kurang yang lebih menderita dari masyarakat berkecukupan. Cerita berlanjut kepada sebuah masa yang berlangsung hingga saat ini, masa reformasi yang sampai saat ini belum jelas apakah reformasi ke orde baru atau orde lama atau orde lain.

Kesimpulannya, pergantian kekuasaan dan komparasi orde yang ada perlu menjadi sebuah pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Negara yang tinggal menunggu bulan akan memasuki usia ke- 72, menurut Presiden saat ini akan menuju masa swasembada pangan dan ekonomi kreatif. Namun dibarengi dengan persoalan seperti pertarungan opini publik, individualisasi nyata masyarakat, dan kepentingan politik berlabel SARA. Seakan orde ini dianggap oleh sebagian besar masyarakat belum bisa lebih dari apa yang dihasilkan oleh orde-orde sebelumnya  dan ingin kembali lagi merasakan serta hidup baik orde baru ataupun orde lama.

Kalaupun perjuangan yang terjadi 19 tahun adalah berbuah masa kini, tidak bisa kita berpaling darinya entah berkilah atas rasa nostalgia dan kenyaman pribadi atau golongan. Apa yang kita mulai dengan membuat ini bebas dari kesenjangan ,korupsi, perpecahan internal dan kebodohan baik moral atau akal, perlulah segera diselesaikan dengan langkah nyata berupa kesadaran serta kontribusi secara langsung atau tidak langsung. Langkah tersebut bukan sekedar langkah kaki,tangan, pikiran, tetapi langkah mental untuk siap dan konsisten melakukanya dengan sepenuh hati tanpa kepentingan terselubung nan mayoritas.