e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Bibit Korupsi sejak Kerajaan Tradisional hingga Kolonial

Oleh: Upik Larasati
1803 1015 0053


Kasus Megakorupsi e-ktp membuat publik kaget walaupun ini bukan kali pertama kasus korupsi terjadi di Indonesia seperti kasus proyek olahraga Hambalang, kasus Century bahkan hingga korupsi yang dilaksanakan oleh suatu rezim seperti ketika masa Soehartoi berkuasa. Nyatanya korupsi terbukti masih selalu dapat mencuri perhatian masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena kerugian yang dihasilkan tindakan korupsi ini memang sangat merugikan dan kegagalan demi kegagalan yang didapat dalam tindakan pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Sejarah selalu berhasil menciptakan suatu pemahaman baru terhadap segala hal. Melalui sejarah, sebab akibat suatu peristiwa diperlihatkan dan akhirnya melahirkan pemahaman tersebut. Korupsi pun dapat dipahami melalui perspektif sejarah, maka sebelum akhirnya kita dapat menentukan bagaimana cara pengehentian korupsi yang tepat maka ada baiknya kita melihat sejak kapan bibit korupsi tersebut muncul dan penyebab tindakan ini masih langgeng hingga sekarang.
Indonesia di masa kerajaan tradisional sebenarnya dapat dikatakan tidak terdapat tindak korupsi, sebab konsepsi mengenai korupsi itu tersebut baru muncul ketika adanya pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Tetapi bukan berarti bibit korupsi menurut konsepsi masa kini tidak muncul di masa ini.
Sistem keuangan di kerajaan tradisional salah satunya adalah Mataram, membuat bibit-bibit korupsi subur dan tumbuh menjadi sebuah kebiasaan di dalam masyarakat. Salah satu bibit korupsi yang muncul akibat tidak adanya pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum adalah sistem penjualan jabatan yang dilakukan oleh sultan. Sultan yang mempunyai kas kerajaan tidak dapat menikmati sepenuhnya uang tersebut untuk kebutuhan pribadi melainkan juga untuk membiayai kerajaan, hingga akhirnya ketika sultan membutuhkan uang tambahan maka biasanya ia menjual jabatan kepada bangsawan bahkan juga kepada elite Cina atau Eropa. Uang yang dihasilkan oleh penjualan jabatan ini sangat instant dan akhirnya menjadi pilihan sultan untuk mendapatkan uang tambahan selain juga melalui upeti-upeti yang ada.
Mataram yang menganut sistem desentralisasi keuangan juga membuat para bupati, patih, harus menemukan sendiri caranya untuk mendapatkan uang atau menurut Onghokham yaitu “harus otonom dalam keuangan”. Ketidakadaannya sistem gaji dan biaya untuk jabatan membuat para bupati atau patih harus memutar otak memanfatakan cacah yang diberikan sultan sebagai sumber mata pencahariannya. Hal ini membuat para bupati dan patih ini bahkan para pengambil pajak menekan dan mengambil upeti dari masyarakat dan terkadang memberlakukan ‘uang pelicin’ untuk setiap kepentingan masyarakat yang berhubungan dengan kerajaan.
Sedangkan di zaman kolonial pun bibit korupsi tetaplah awet, sebab pemerintah kolonial ternyata masih melanggengkan hal tersebut. Salah satunya ada di zaman tanam paksa sekitar tahun 1830 sampai 1870. Ketika politik tanam paksa ini dilakukan, para pejabat Hindia Belanda dan pejabat pribumi diberikan “uang anjuran” untuk menyukseskan kegiatan ini. “Uang anjuran” seperti ini yang akhirnya masih ada hingga sekarang. Hal ini akhirnya juga disadari oleh para pejabat tinggi kolonial, hingga pada tahun 1860, gaji para pejabat kolonial dirasionalisasikan atau dinaikan. Perasionalisasian gaji ini cukup efektif untuk menekan tindakan pemberian ‘”uang anjuran” tersebut.
Perasionalisasian gaji ini tidak dilaksanakan bagi pejabat pribumi hingga akhirnya tanam paksa dihentikan dan perkebunan-perkebunan dialihkan kepada swasta. Tindakan pengambilan upeti dari rakyat pun masih dilaksanakan yang dibuktikan oleh gaya hidup pribumi yang tinggi padahal gaji mereka sebenarnya kecil. Tahun 1870, pemerintah kolonial mencoba untuk mengontrol hal ini dengan membatasi tenaga cacah yang dimiliki oleh pejabat pribumi yaitu hanya sampai pada 200 orang lelaki setahun. Tindakan selanjutnya dilakukan pada 1890, yaitu penghilangan hak untuk tenaga kerja dan diganti menjadi kenaikan gaji sebesar 200 gulden setahun. Perasionalisasian gaji kepada pejabat pribumi sesungguhnya juga belumlah terlalu memecahkan masalah sebab, pejabat pribumi yang dipandang oleh masyarakat sebagai pemimpinnya dan memiliki keluarga besar yang harus dihidupi membuat gaji mereka tidaklah mencukupi.
Penjualan jabatan, pemberian “uang pelicin” dan “uang anjuran” ini nampaknya merupakan bibit korupsi yang sudah terjadi sejak dahulu kala. Tindakan ini pada zamannya dianggap biasa yang akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang dibiarkan oleh masyarakat secara turun temurun dan bertahan hingga kini walaupun negara kita telah merdeka dan menjadi sebuah negara modern. Selain bibit korupsi yang telah ada nampaknya bibit pencegahan korupsi pun juga telah muncul sejak zaman dahulu, maka penentuan bagaimana tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi pun dapat bercermin dari sejarahnya dan dapat diperbaiki hingga akhirnya ditemukan formula yang tepat untuk menjadi tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sesuai dengan zaman sekarang.  

Daftar Pustaka:
Onghokham. 1983. Tradisi dan Korupsi dalam majalah Prisma “Korupsi dan Pengawasan Pembangunan” Edisi Februari 1983.
Onghokham. 1986. Korupsi dan Pengawasan dalam Perspektif Sejarah dalam majalah Prisma “Korupsi vs Pengawasa” Edisi Maret 1986.
Onghokham. 2003. Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Jakarta: PDAT
Suwarno, P.J. 1989. Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta

0 komentar: