e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

PERCOBAAN DEMOKRASI PERTAMA DALAM MENCAPAI KEMERDEKAAN 1950-1957

Oleh Vina Yulianti
18031015009




   Dalam mencapai kemerdekaan 1950-1957 sejak tahun 1950 merupakan kisah bagaimana rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi setelah tercapainya kemerdekaan, pada tahun 1950 pemerintahan posisinya berada di tangan partai-partai dan Islam terkemuk, ada satu keputusan bahwa demokrasi disepakati dan diinginkan adalah mereka itulah orang-orang yang akan menciptakan sebuah negara demokrasi, namun pada tahun 1957 ternyata mengalami kegagalan dalam kesatuan wilayah negara, salah satu faktor penyebabnya adalah korupsi yang tersebar luar yang menyebabkan negara menjadi terancam, adapun beberapa hal yang belum terpecahkan seperti ekonomi, dan keadilan sosial itu belum sempat terwujud
(Ricklefs: 493).
Seperti masalah ekonomi dan sosial yag dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan Jepang, perkebunan, dan isntalasi industri di berbagai negeri rusak. Adapun perpecahan-perpecahan yang terjadi di dalam tubuh tetara yang menggambarkan pada jaman Belanda, Jepang serta revolusi yang berada di tangan Nasution, Simatupang, dll. Komitmen yang berada pada revolusi itu berasal dari sayap kiri Madiun dari unsur-usur Islam dan pembentukan Darul Islam
(Ricklefs: 499).
   Masyumi merupakan perwakilan dan kepentingan Politik Islam dianggap sebagai partai terbesar di Indonesi, basis politik Masyumi terdiri dari kaum Muslim yang taat dan adapun sebagian kaum pribumi borjuis, kyai, dan ulama yang dimobilisasikan. Mereka sangat menghindari sikap yang doktriner yang dapat mengancam persatuan Nasional yang memperlihatkan dengan pemberontak Darul Islam, dan mereka juga menentag Masyumi. Tokoh Masyumi Isa Anshary mengatakan bahwa penyelesaian dengan cara berunding, dalam perundingannya Isa Anshary mengatakan “ Saja sendiri menentang keras akan pengakuan proklamasi negara Islam Kartosuwirjo tetapi apa salah djika kita dalam hal ini tjoba menginsyafkan Kartosuwirjo dlam perundingan (Pikiran Rakjat, 13 Maret 1953). Isi pernyataan ini menggambarkan sikap Masyumi terhadap penyelesaian masalah Darul Islam identic kepada penyelesaian politik, sedangkan partai nasionalis lebih mengedepankan kepentingan Militer.  Ada juga partai Nasional Indoesia (PNI) merupakan partai terbesar kedua, partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi masyarakat Muslim abangan di daerah Jawa, dan PNI mendapat banyak dukungan dari orang-orang Kristen di luar Jawa dan daerah Bali yang kebanyakan menganut agama Hindu.
Pada akhirnya partai komunis Indonesia (PKI) saat itu yang dihancurkan namun tidak dilarang tahun 1948 (Ricklefs: 501).
PKI merupakan suatu partai politik yang berusaha menunjukan bahwa mereka pembela rakyat miskin, namun PKI menghadapi banyak lawan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Partai Masyumi
   Masyumi Jawa Barat cukup kerepotan bersikap terhadap gerombolan Darul Islam yang kian memberontak, tokoh Masyumi menentang keras akan pengakuan proklamasi negara Islam Kartosuwirjo, tetapi apa salah djika kita dalam hal ini tjoba menginsyafkan Kartosuwirjo dalam perundingan (Pikiran Rakjat, 13 Maret 1953). Hal ini diungkapkan oleh Isa Anshary. Masyumi sendiri merupakan Partai politik yang anti Komunis oleh karena itu Masyumi bersama-sama dengan Psi sebagai partai borjuis, dan juga PNI dinyatakan sebagai partai borjuis nasional oleh Aidit. Lalu pada tahun 1950 partai politikus Jakarta membentuk suatu parlemeter satu majelis (Dewan Perwakilan Rakyat) adapun jumlah anggota dari masing-masing partai 232 orang yang mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan-kekuatan partai, Masyumi mendapat 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (3,9%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), partai katolik 9 kursi (2,2%) dan Murba 4 kursi (1,7%). Ketegang Masyumi dan PKI di Jawa Barat ini dirasakan pada bulan September, dalam konferensi pers dengan wartawan Bandung, juru bicara Masyumi wilayah Jawa Barat akan mempelopori terbentuknya front anti komunis dengan dukungan dan simpati dari segenap golongan rakyat sebagai dasar pertimbangannya berdasarkan pengalaman kelam yang dirasakan umat Islam, karena tndakan komunis berupa fitnah dan berbagai usaha yang nyata hendak manegahancurkan umat Islam Indonesia. PKI tidak hanya membangun propaganda lahirnya barisan partiklir brsenjata disamping tentara, dalam konfer ps Rusyad mnyebutkan bahwa ribuan angota Masyumi juga telah menjadi korban keansan erombolan DI/TII dengan ribuan rakyat tak bersalah semua telah menjadi korban (Pikiran Rakjat, 24 Desember 1954).
   Hari minggu 9 Januari 1955 giliran NU Labang kota besar Bandung mengadakan kampanye di lapangan Tegallega Rapat besar ini dihadiri pulhan ribu umat Islam ynag datang dari Cirebon dan kota-kota lainnya di Jawa Barat, kampanye ini menyebutkan NU menginginkan Negara berdasarkan hukum Islam dan menentang tanda gambar PKI (Pikiran Rakjat, 10 Januari 1955. Ironi terbesar selama kurun waktu 1950-1957 ialah bahwa ketika negara Indonesia terpecah-pecah, negara itu juga bersatu padu, jarak sekali motto nasional Bhineka Tunggal Ika (Secara resmi tapi sebetulnya agak kurang akurat diterjemahkan sebagai “persatuan dalam keragaman”) lebih pantas dengan keadaannya. Masih tetap terjadi banyak perpecahan dan politik di dalam negara, beberapa diantaranya, akhirnya tidak dapat ditujukan. Akan tetapi kini semuanya jelas merupakan perpecahan dan konflik di dalam suatu bangsa yang tunggal.


Sumber:
Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Lembaga Penelitian Unpad, 2003 halaman 294
M. C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

0 komentar: