ISLAM TRADISIONAL INDONESIA
Oleh Febi Ramdani Sukmara M.
180310150001
180310150001
Pada
hari Kamis tanggal 17 Maret 2017 lalu Indonesia berkabung karena salah satu
tokoh besar negeri ini berpulang ke Ramatullah. Dia adalah K.H. Hasyim
Muzadi ulama Indonesia yang pernah menjabat sebagai Rohis besar NU (Nahdlatul
Ulama) pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. Sebagai ulama Hasyim dianggap
sebagai orang yang pluralis,apa saja yang dianggap perlu bagi Agama, Indonesia,
dan NU, Hasyim ikhlas melakukannya (www.tokohindonesia.com).
Hasyim Muzadi,seorang ulama yang lurus, seorang pendidik yang mempunyai
pesantren di dua kota yaitu di Depok dan Malang. Sebelum meninggal Hasyim
berpesan bahwa negeri ini membutuhkan kerukunan, Silaturahmi, saling bertegur
sapa, bersalaman diantara tokoh bangsa (Koran Tempo, Akhir Pekan 18-19 Maret).
K.H. Hasyim Muzadi dikenal sebagai ulama yang
mengedepankan faham islam yang moderat, yaitu faham Islam yang ingin menampilkan
nilai-nilai kemoderatan bagi umat non muslim (renunganislam.net). Faham Islam
moderat ini dinilai sangat cocok diterapkan di Nusantara mengingat negeri ini
adalah negeri yang ditinggali oleh berbagai suku dan aliran kepercayaan. Islam
Moderat juga cenderung untuk mengormati berbagai tradisi yang berkembang dari
masyarkat seperti apa yang dilakukan oleh walisongo pada zaman dahulu. Kaum Islam Tradisionalis adalah pelopor dalam faham
Isam moderat ini mereka sadar bahwa adat istiadat yang sudah berlaku tidak bisa
dengan mudah dirubah oleh masyarakat, kaum Islam Tradisional mengganti
kebiasaan masyarakat dari zaman Hindu-Budha tanpa menghilangkan kearifan budaya
lokal.
Dalam perjalanan Sejarah Indonesia kaum Islam tradisionalis yang sering disebut
faham Ahlussunnah wal jamaah memang banyak berjasa kepada negara ini
terutama dalam mencapai kemerdekaan. Selanjutnya akan saya coba rekonstruksi
bagaimana perjalanan kaum Islam Ahlusunnah wal Jamaah di Indonesia.
Munculnya
istilah Tradisional dan reformasi dalam fenomena kaum muslimin di Indonesia
merupakan sebutan yang ipakai oleh Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Gerakan
modern Islam di Indonesia 1900-1942. Noer menyamakan kaum Islam Reformis
atau modern bagi kelompok-kelompok seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al
Irsyad, Perserikatan Ulama, Sarekat Islam, dan istilah Islam tradisional
disematkan kepada NU (Mujahid, 2013:8). Lahirnya
Jam’iyyah Nadlatul lama (NU) pada tahun 1926 tidak lepas dari kekhawatiran
ulama Islam Tradisionalis setelahnya berhasilnya Ibnu Saud menjadi penghuni
Hijaz, Ibnu Saud kemudian mengundang tokoh-tokoh ulama dari seluruh dunia
termasuk Indonesia untuk mengikuti kongres khilafah. Pada saat itu Indonesia
membentuk Komite Khalifah untuk menentukan siapa yang akan mewakili Indonesia,
terpilihlahh dua tokoh yaitu HOS Tjokroaminoto dari PSII dan Mas Manshur dari
Muhammadiyyah (Amin, 2004:370). Terpilihnya kedua tokoh Islam reformis ini
mewakili Indonesia tanpa menyertakan kaum muslim Tradisional memunculkan
kekhawatiran apabila Ibnu Saud yang berfaham Wahhabi kemudian melarang praktek
peribadatan penganut Mazhab empat. Menanggapi hal ini Wahab Hasbullah kemudian membentuk Komite Hijaz yang dalam
rapatnya menghasilkan dua
keputusan yaitu: pertama, mengirimkan
Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghanaim kepada Ibnu Saud, agar baginda memberika
kebebasan kepada penganut Madzhab Empat. Ibnu Saud dalam balasannya menjamin
hal itu. Kedua, memutuskan lahirnya
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’(Kebangkitan Ulama) yang mempertahankan empat Madzhab
(Hanafi, Maliki, Hambali, Syafii) (Amin, 2004:370).
Dalam
rapat ini pembahsan mengenai Hijaz merupakan topik utama, berikut salah satu
cuplikan rapatnya.
Bani Sa’ud An-Najdi di zaman dahulu
terkenal dengan aliran Wahhabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab,
menurut kitab-kitab Tarikh… belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang
dianut raja Sa’ud sekarang (masih Wahhabi atau bermadzhab empat), tetapi kabar
mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang membaca Dalail al-khairat dan sebagainya.
…. Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua,
juga merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan itu tanah (Suci) dalam
hal agama, karena disitu ada Qibalat dan (Tempat) kepergian haji kita dan
beberapa bekas-bekas nabi kita bahkan quburnya juga. Walhal, kita ada anggap
sunnat-muakkad ziarah di mana qubur tersebut(Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1 No.1 (1Rajab 1347 H.), hal 9 dalam
Noer,1980:244).
Pada masa awal-awal pembentukannya Nahdlatul Ulama hanya
bergerak pada bidang Pendidikan, Sosial
dan juga Ekonomi (Terutama perdagangan). Setelah Indonesia Merdeka pada
tahun 1945 negeri Belanda kembali mengirimkan pasukannya untuk merampas
Kemerdekaan Indonesia, pada saat ini kemudian NU tidak hanya bergerak dalam
bidang-bidang sosial namun juga turut bergerak dalam perjuangan dan Politik.
Untuk menghadapi ancaman Belanda tersebut Kyai Hasyim Memanggil Kyai Wahab,
Kyai Bisri dan beberapa Kyai lainnya untuk mengumpulkan kyai-kyai se-Jawa dan
Madura dalam ini adalah utusan-utusan cabang NU untuk membahas hal ini. Kongres
pun digelar di Kantor Pengurus besar NU yang berada di Jalan Bubutan VI/2,
Surabaya, Jawa Timur. Setelah melakukan serangkaian pembicaraan mereka sepakat
untuk mendeklarasikan sebuah seruan jihad fi
sabili Allah (Mujahid, 2013:135).
Setelah mendeklarasikan jihad fi Sabili Allah perjuangan NU mulai terjun ke dalam dunia politik
Indonesia yang merdeka, NU dalam hal ini banyak berperan di Departemen Agama
yang dibentuk berdasarkan keputusan pemerintah pada tanggal 3 Januari 1946.
Pada waktu itu mentri agama adalah H. Rasjidi dari kalangan reformis akan
tetapi tidak lama kemudian tidak lama kemudian diganti oleh tokoh NU yaitu Kyai
Fathurachman sampai dengan tahun 1970an.
Selain
berpartisipasi sebagai menteri tokoh-tokoh NU juga menjadi partai Masjumi yang
dibentuk pada 3 November 1945 menyusul ditariknya keputusan pemerintah untuk
mendirikan partai Politik, Kyai Hasyim dipercaya untuk duduk dalam kursi
kepemimpinan dan Kyai Wahab sebagai wakilnya sementara itu tokoh-tokoh Islam
lainnya menjadi anggota dalam partai Masjumi. Pada saat itu Masjumi diharapkan
agar menjadi lambang dari persatuan Islam di Indonesia dalam memperjuangkan
aspirasi politiknya (Mujahid, 2013:138).
Harapan
agar Masjumi menjadi sarana bagi aspirasi politik umat Islam akhirnya kandas
juga, keretakan hubungan antara kaum Islam Tradisionalis dan kaum Islam
Reformis terjadi yang menyebabkan akhirnya NU memisahkan diri dari partai
Masjumi pada tahun 1952. NU kemudian bertransformasi menjadi Partai politik
tersendiri. Berdirinya NU sebagai partai politik yang mandiri mengundang banyak
komentar termasuk dari para pembesar Masjumi yang menganggap NU tidak akan bisa
berbicara banuak dalam percaturan Politik Indonesia (Mujahid, 2013:151). Namun,
banyak juga yang mendukung pembentukan NU sebagai Parpol mandiri salah satunya
adalah Presiden Indonesia sendiri yaitu Ir. Soekarno.
Puncak
dari perjalanan Politik di pentas Nasional NU adalah ketika berhasil memperoleh
suara terbanyak ketiga pada pemilu tahun 1955, NU hanya tertinggal dari dua
partai besar yaitu PNI dan Masjumi. Prestasi ini yang kemudian mengangkat
kepercayaan diri NU dalam kiprah politiknya dan untuk kepentingan Kaum Muslimin
Indonesia. Kyai Wahab pernah berkata sesuatu mengenai keputusan NU untuk
menjadi Partai politik sebelum dia meninggal pada tahun 1953.
“kalau saya akan membeli sebuah mobil
baru, dealer tidak akan, ‘apa tuan bisa memegang kemudi ?, pertanyaan serupa
itu tidak perlu, sebab andaikata saya tidak bisa mengemudikan mobil saya bisa
memasang iklan: ‘mencari sopir’. Pasti nanti akan datang pelamar-pelamar sopir
antre dimuka saya.
Kata kata diatas adalah jawaban Kyai Wahhab atas semua
keraguan para politisi terhadap eksistensi NU sebagai partai
politik.
Sebagai
Negara yang lahir oleh keberagaman, penting bagi Indonesia untuk menjaga
kerukunan antar berbagai kelompok manusia yang terdapat di Negeri ini, baik itu
dalam hal suku bangsa maupun agama dan kepercayaan. Ego merupakan musuh
terbesar bagi bangsa ini, sikap ego menyebabkan suatu suku bangsa atau
kepercayaan merasa lebih unggul dari
pada suku bangsa dan kepercayaan orang lain. Seiring berjalannya waktu perasaan
ego mulai tumbuh dalam diri bangsa Indonesia dan mulai mengancam integrasi
bangsa. Untuk mencegah hal ini dibutuhkan pihak yang menengahi yang kemudian
menjadi umat yang mengajak kepada Khairat
bersama. Sikap toleransi yang diperlihatkan kalangan Islam Tradisionalis
pada masa lalu dapat kita jadikan pelajaran dan kita terapkan dimasa kini untuk
tercapainya sebuah bangsa yang kuat dan bebas dari virus-virus penghancur
integrasi bangsa.
Daftar
Sumber :
Amin,
Masyhur M. 2004. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung : Indonesia Spirit Foundation.
Koran
Tempo edisi Akhir Pekan, 18-19 Maret.
Mujahid, Abu. 2013. SEJARAH NU “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” di Indonesia. Bandung:
Toobagus Group Bandung
Noer,
Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di
Indonesia. Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Sumber
Internet :
renunganislam.net
Tulisan yang kaya akan peristiwa Sejarah seputar Islam di Indonesia khusus terkait dengan NU.
BalasHapus