e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

67 Tahun Hari Perfilman Nasional : Sudahkah Bangsa Ini Menghargai Sejarahnya?

Oleh Jonatan Ade Putra
180310150072




Setiap tahun di tanggal 30 maret kita memperingati hari perfilman Nasional, sebuah hari dimana kita mengapresiasi karya-karya film anak bangsa. Tanggal 30 Maret ini diambil dari tanggal syuting pertama film "Darah dan Doa “ (30 Maret 1950), film yang diakui oleh pemerintah sebagai film Indonesia pertama, hal ini didasarkan atas fakta bahwa film ini merupakan film pertama yang jajaran pemain maupun pembuatnya diisi oleh orang Indonesia.

Peningkatan kualitas film nasional adalah sebuah hal yang mutlak dilakukan mengingat film dewasa ini bukan hanya sebatas komoditas hiburan semata tetapi sudah menjadi sebuah industri dan identitas bangsa. Film Indonesia sendiri pernah berada pada
masa paceklik pada era 90an ini semua diakibatkan Industri film pada masa itu mengalami mati suri, bioskop-bioskop pada masa itu di dominasi oleh film seks yang meresahkan. Apresiasi masyarakat Indonesia terhadap perfilman nasional semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang semakin sering menonton film-film buatan dalam negeri, contohnya film Warkop DKI Reborn yang berhasil menarik lebih dari 6 juta penonton di dalam negeri. Sebuah angka yang sangat fantastis mengingat jumlah penonton yang biasanya hanya berkisar puluhan ribu penonton saja. 

Perkembangan ini tidak hanya dialami oleh segelintir film saja tetapi setidaknya ada 7 film di tahun 2016 yang berhasil mendapatkan penonton diatas 1 juta penonton. Setiap tahunnya tidak kurang dari 80 film dibuat di Indonesia dan terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015 setidaknya 116 film komersil telah dibuat (belum termasuk
 film Indie.) Sebuah pencapaian yang sangat mengesankan dibandingkan dengan produksi film pada masa kolonial yang hanya sekitar 70 judul film dibuat di Indonesia pada tahun 1926-1942. Film-film tersebut sudah termasuk film buatan Eropa, Timur asing, dan Pribumi.

Sebuah angka yang sedikit memang bila dibandingkan dengan produksi film pada saat ini, akan tetapi hal itu merupakan sebuah pencapaian yang mengesankan mengingat sebuah bangsa yang masih terjajah sudah dapat berkarya di negerinya. Sejarah perfilman nasional mengalami masa yang berliku-liku, ini semua diawali padatahun 1900 dimana film baru pertama kali masuk ke kota-kota besar di Hindia Belanda (Indonesia). film-film tersebut masih berupa potongan film-film bisu yang tidak memiliki cerita. Film-film semacam ini dianggap sebuah hiburan mewah dan hanya dapat dinikmati oleh orang Eropa dan Timur asing kaya pada awalnya. Baru setelah itu muncullah kebijakan pembagian kelas sehingga orang-orang pribumi dapat ikut menonton juga.

Sejarah perfilman nasional mulai mengalami terobosan pada tahun 1926 ketika bangsa ini mulai membuat film cerita untuk pertama kalinya dengan judul “Loetoeng Kasaroeng”, film yang mengangkat salah satu kisah legenda asal Jawa Barat ini patut diberi apresiasi karena sumbangsihnya terhadap sejarah perfilman nasional. Apresiasi terhadap film-film buatan dalam negeri yang sangat luar biasa justru berbanding terbalik dengan apresiasi bangsa ini terhadap sejarah perfilmannya sendiri. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa film-film buatan dalam negeri yang dibuat sekitar tahun 1926- 1942 habis tanpa bekas. film-film yang dibuat pada masa sebelum perang sudah habis dibakar untuk menghindari terjadinya kebakaran yang lebih luas akibat bahan baku film pada masa kolonial menggunakan nitrat, sebuah bahan kimia yang mudah sekali terbakar. Belum lagi perusahaan-perusahaan film pada masa itu belum memiliki budaya untuk mendokumentasikan film-film buatan mereka. Karena sudah tidak laku diputar di bioskop keliling, film itu dikilokan untuk dijadikan penutup botol (seal), atau untuk dibuat bahan pemerah kuku (Misbach, 2011 : 291)

Fakta ini sungguh miris, karya-karya sejarah yang seharusnya dapat dipelajari dan dinikmati oleh bangsa ini justru tidak berbekas karena kelalaian bangsa ini dalam mendokumentasikan sejarahnya. Sebuah hal yang menyedihkan apabila bangsa sebesar Indonesia yang selalu menggembar-gemborkan tentang Jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) justru tidak menghargai sejarahnya sendiri, padahal lewat film-film yang dibuat pada masa kolonial itu bangsa Indonesia dapat melihat sedikit tentang sejarahnya sendiri dan dapat mempelajari jiwa zaman yang ada didalam setiap film tersebut.

Sebenarnya sudah ada sebuah lembaga yang bertugas khusus untuk mengurus pengarsipan film-film nasional, lembaga itu adalah sinematek Indonesia(SI), lembaga yang sudah didirikan sejak tahun 1975 ini perannya harus lebih dimaksimalkan dalam menyelamatkan film-film bersejarah. Pemerintah pun wajib berperan aktif dalam membantu SI, baik secara operasional maupun finansial agar film-film buatan dalam negeri dapat terdokumentasikan dengan baik. selain itu kordinasi antar lembaga terkait pun perlu diperjelas dan ditingkatkan agar nantinya tidak terjadi tumpang tindih, sehingga pekerjaan antar lembaga terkait menjadi tidak efektif.

Buruknya apresiasi terhadap sejarah perfilman nasional harusnya dapat menjadi ajang refleksi diri bagi bangsa ini, khususnya saat memperingati 67 tahun perfilman nasional tanggal 30 Maret nanti, kita bukan hanya harus mendukung agar perfilman Nasional menjadi lebih berkualitas dan bermanfaat kedepannya, akan tetapi harus ada upaya agar film-film yang pernah dibuat dapat didokumentasikan dengan baik dan menjadi bagian dari arsip negara yang akhirnya dapat dinikmati oleh anak cucu kita kedepannya. 
Sebab sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.

Daftar Sumber :

Buku :

Misbach Yusa Biran . 2011. "Film pada Masa Kolonial”, dalam Indonesia dalam Arus

Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan Jilid 5. (ed) Taufik Abdullah & A. B. Lapian. Jakarta:

PT. Ictiar Bau van Hoeve.

Internet :

https://ruang.gramedia.com/read/1474011896-menyoal- film-nasional ( diakses tanggal 29

Maret 2017, Jam 19.32 WIB)

http://m.liputan6.com/news/read/2199142/30-maret- hari-film- nasional( diakses tanggal 27

Maret 2017, Jam 22.27 WIB)

http://perfilman.perpusnas.go.id/lembaga_perfilman/detail/64( diakses tanggal 26 Maret

2017, Jam 05.25 WIB)

http://cinemapoetica.com/sinematek-and- film-preservation- in-indonesia/( diakses tanggal 26

Maret 2017, Jam 05.49 WIB)

https://m.detik.com/hot/movie/d-3460019/refleksi- perkembangan-perfilman-

indonesia(diakses tanggal 26 Maret 2017, Jam 06.05 WIB)

http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007-2017#.WN- 6NlSyTJs(diakses tanggal 26 Maret

2017, Jam 06.15 WIB)

0 komentar: