e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Ilmu Humaniora yang Sudah Diambang Kematian : Refleksi Semangat Seni Atas Kehidupan Modern

Bryna Rizkinta S.M
180310150068



Beberapa hari sebelumnya tepatnya pada 28 maret adalah hari Teater sedunia .

Dalam kampus Universitas Padjajaran sendiri yang memiliki fakultas humaniora,

peringatan tidak dilakukan besar-besaran, tetapi setidaknya mereka yang

memperingati berarti masih mempunyai semangat estetsik, semangat luhur dalam

menjalani hidup di peradaban ini, yang sekarang ini oleh ilmu-ilmu yang bersifat

positifistik sudah perlahan-lahan dialienasikan.

Dapat kita lihat, di Jepang sendiri ilmu-ilmu Humaniora terancam akan

hihapuskan. Dikabarkan bahwa pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri

Shinzo Abe memerintahkan untuk menutup fakultas-fakultas Ilmu Sosial dan

Humaniora di 60 universitas nasional di negara tersebut. Dimana 26 universitas

nasional diantaranya telah mengonfirmasi akan menutup atau menimbang ulang

kebijakan ini.

Alasan penghapusan itu karena ilmu-ilmu humaniora bukanlah target pasar lagi.

Berbanding terbalik dengan ilmu teknik atau dalam lebih luas lagi ilmu sains,

yang menjadikan insinyur di jepang menjadi sangat dibutuhkan.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan pengutamakan ilmu-ilmu praktis dari pada ilmu-

ilmu teoritis seperti sejarah, filsafat, antropolgi, seni dan yang lainnya. Alasanya

Ilmu-ilmu praktis yang kebanyakan dimanifestasikal oleh ilmu-ilmu yang berbasis

teknik, mempunyai sifat gampang direalisasikan dan berbuah hasil yang benar-

benar rill untuk industrialisasi dan tentu arah pembangunan negara yang

progressif untuk bersaing dalam dunia global.

Hal itu medapat respon dari presiden Universital Siga, Takamitsu Sewa yang

menulis di sebuah op-ed di Japan Times, Sewa mencela keputusan tersebut

dengan menyebut keputusan ini “keterlaluan” dan “anti-intelektual”.

Seni sendiri, suatu fenomena yang paling klasik, bahkan lebih tua dari pada

filsafat ataupun agama sekaligus dalam keadaan yang serba pragmatis menjadi

tersudutkan diantara ilmu-ilmu lainnya. Tidak banyak orang tua yang memberikan

dukungan kepada anak-anak mereka ketika ingin menekuni dunia seni, atas

pradigma bahwa kehiduapan seniman tidak jelas atau alasan-asalan klasik lainnya.

akhirnya seni hanya menjadi selingan yang sangat tersier untuk digeluti, seperti

perminan futsal yang dimaikan oleh anak kuliahan.

Padahal bila kita berkaca lewat sejarah, banyak karya-karya seni yang

mengungkapkan perlawanan yang berarti cukup dalam. Seperti karya dari Affandi

yaitu “Bung ayo bung” yang di lukis setelah Soeharto memproklamasikan

kemerdekaan Indonesia, “ Bung, ayo bung”, lirik yang ditulis chairul anwar dalam

lukisan Affandi melambangakan bahwa ayo kita bangun negri ini kembali setelah

terbebas dari rantai kolonialisme “Bung, ayo bung, ayo bangun negri ini”.

Karya seni sendiri merupakan curahan ekspersi atas kegelishan terhadap apa yang

dirasakan senimannya. Pengetahuan akan “dokumen pengalaman” manusia yang

merupakan produk-produk seni ini memberi kita kesempatan terhubung dengan

manusia yang datang sebelum kita. Seperti contohnya saja dalam Guernica karya

mural Picasso, yang melambangkan perlawanan manusia terhadap perang yang

sekarang emosi dari pelukis raksasa Spanyol yang di tuangkan di mural itu masih

bisa kita lihat sekarang.

Dalam hal sastra misalnya. Ketika kita membaca buku-buku sastra, terlebih lagi

literatur klasiknya kita bisa berhubungung dan mengetahui kultur yang berlaku

ketika itu. Seperti dalam Romeo dan Juliet karya Shakespeare, siapa sangka ketika

zaman dinasti Tudor di Inggris, menghisap ibu jari didepan orang lain bisa

megakibatkan pertengkaran “ Samson : Tidak berani mereka. Kugigit ibu jariku;

hinalah mereka, kau betah itu” (Shakespeare, 2009: 11).

Contoh lainnya adalah karya “1849” karya George Orwel yang menggambarkan

suatu peradaban totaliter. Itu semua merupakan hasil kegelisahan yang

diekspresikan Orwell dalam karyanya atas situasi sosial dalam kehidupannya

ketika itu. Juga pada karyanya berjudul “Animal Farm” alegori tentang kehidupan

politik yang perankan oleh binatang, di mana penguasa hanya menguntungkan

kaumnya saja dan akhirnya mendiskrimasi yang lain.

Dalam hal musik, Indonesia sendiri mempunyai musisi-musisi seperti Iwan Fals

yang fenomenal dijamannya, dihadapkan pada sebuah zaman dibama pemerintah

sudah merosot, ia mengungkapkan kegelisahannya lewat musik yang sangat

mengkritik pemerintah yang ketika itu masih sangat berkuasa. Hal itu menjadi

inspirasi-inspirasi untuk musisi lainnya dijamannya.

Memahami perbedaan antara setiap zaman itu sangat penting, karena hidup di

zaman itu dengan pandangan zamannya yang tentunya berbeda dengan zaman

sekarang kita hidup. Sehingga kita dapat mengendorkan kegoisan atas

kesuperioran zamannya dan dapat belajar pengaruh-pengaruh apa yang

membentuk zaman modern ini.

Seni memberikan dasar-dasar pada suatu proses kehiudupan dan pencarian

makna-makna fundamental yang akan memberikan generasi muda lebih mengeri

akan estetika serta proses berfikir yang lebih kritis. Seni juga menjadikan manusia

mencari akan makna hidup yang membuat para generasi penerus lebih bisa

menikmati hidup sepenuhnya apa adanya dan tidak terjebak akan budaya egois,

hedon, dan saling sikut yang sudah terlalu melekat pada keadaan sekarang ini.

Karena itu kita sebagai manusia-manusia yang sadar akan kesadaran seni yang

sudah krisis ini, harus berusaha dan memperbaiki mainset-mainset yang terlalu

pragmatis dalam kehidupan masyarakat, terlebih lagi kaum muda yang secara

hakikatnya merupakan para penerus bangsa ini. Berkaca dengan Universitas

Parahyangan Bandung yang sudah menjadikan estetika sebagai mata kuliah pada

setiap jurusan yang ada.

Sekiranya gerakan-gerakan literasi dan kesenian yang ada dilingkungan kampus

atau non-kampus perlu di dukung dan dikibarkan, karena bisa saja menjadi cikal-

bakal suatu gerakan besar nantinya. Terlebih lagi gerakan-gerakan dari

Universitas, khususnya yang mempunyai fakultas humaniora.

Seni harus menjalankan kembali perannya, membawa jejak-jejak luhur

kebudayaan, ruh dari suatu peradaban. Peradaban yang maju sekalipun akan tetap

kehilangan nilai-nilai keharmonisannya dan akhirnya terkurung pada kehidupan

sehari-hari yang dijalankan dengan tidak bermakna apa apa tanpa ada namanya

seni, yang suatu inti dasar dari kebudayaan. Bahkan menurut Sigmund Freud

sendiri mengatakan bahwa Peradaban tidak akan berjalan tanpa adanya ruh seni.

.

Daftar Sumber

Buku:

Freud, Sigmun. 2002. Peradaban dan Kekecewaan. Yogyakarta: Penerbit Jendela

Orwell, George. 2014. 1984. Yogyakarta: Bentang

Orwell, George. 2014. Animal Farm. Yogyakarta: Bentang

Senjar, D Anno. 2008. Tokoh-Tokoh Kesenian Nusantara. Ban
dung: CV Pandawa

Shakespeare, William. 2009. Romeo dan Julia. Jakarta: Pustaka Jaya

Internet:

https://indoprogress.com/2016/04/matinya-ilmu- sosial-dan- humaniora-matinya-

kemanusiaan-kita/ pada 2/04/2017

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/kekhawatiran-besar- untuk-bidang-

humaniora-dan- ilmu-sosial- di-universitas- jepang pada 2/04/2017

1 komentar: