e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Kemerdekaan Timor Timur: Buah dari Opresi dan Ketidak Adilan

Oleh: Muhammad Annur Nabil
180310150087

Portugis sejak era pelayaran dan kolonisasi telah menguasai beberapa wilayah di dunia, termasuk di Asia Tenggara tepatnya di Timor Portugis (Timor Timur). Pada tahun 1975, Portugis dilanda Revolusi Bunga yang merubah haluan pemerintahannya. Pemerintah Portugis saat itu memutuskan untuk melepaskan begitu saja koloni mereka, termasuk Timor Portugis.
Keadaan tersebut langsung memicu kekacauan internal di wilayah Timor Portugis. Berbagai Partai bermunculan untuk mempersiapkan kemerdekaan, dimana terdapat 3 fraksi yang paling kuat yaitu UDT partai pribumi yang menginginkan kemerdekaan penuh, Fretilin yang berhaluan komunis, dan APODETI yang pro-integrasi dengan Republik Indonesia. Tidak lama, perang saudara antara fraksi-fraksi itu pecah di Timor Timur dan berlangsung dengan berdarah selama tiga minggu. Perang Saudara tersebut notabene dimenangkan oleh Fretilin, sebagian besar wilayah Timor Timur dapat dikuasai oleh Komunis.
Mendengar kata “Komunis”, Indonesia yang saat itu cenderung anti-komunis walaupun bertopeng “non-blok” mendapat tekanan dari negara-negara blok barat yang anti-komunis (saat itu adalah era Perang Dingin). Amerika Serikat dan Australia tidak ingin ada lagi rezim komunis yang muncul di wilayah asia tenggara setelah kegagalan kampanye anti-komunis di Vietnam. Selama pecahnya perang saudara di Timor Timur, Angkatan Bersenjata Indonesia telah melancarkan operasi klandestin / intelejen, yang tujuannya adalah pengintaian, pemetaan persiapan penyerbuan dan yang paling utama ialah membantu pihak APODETI yang pro-integrasi dengan Indonesia. Operasi itu diberi sandi Operasi Komodo.
Pada 7 Desember 1975, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melancarkan invasi skala penuh terhadap Timor Timur untuk menjatuhkan Fretilin yang berhaluan komunis dari kekuasaannya, operasi gabungan tiga matra tersebut dikenal dengan Operasi Seroja. Serangan militer tersebut sebenarnya kurang koordinasi dan perencanaan, sehingga menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaannya. Selama Operasi Seroja berlangsung (7 Desember 1975 – 17 Juli 1976), banyak korban sipil berjatuhan, dihari pertama Operas di Dili ketika pasukan Indonesia menyerbu kota itu, seorang warga setempat menyiarkan melalui Radio bahwa pasukan Indonesia juga menembaki masyarakat sipil, di beberapa tempat lain juga pasukan Indonesia didapati membabi buta ke masyarakat sipil.
Setelah invasi Indonesia, sebuah resolusi PBB dibawah UNTAET (United Nations Transitional Administrations in East Timor) menyatakan bahwa wilayah Timor Timur adalah wilayah administrasi Pemerintah Portugis, dan keberadaan Indonesia di sana berarti tidak menghormati wilayah administrasi Portugis, dalam kata lain keberadaan Indonesia merupakan sebuah pendudukan.
Operasi Seroja meski kacau, berhasil manghancurkan sebagian besar kekuatan Fretilin. Selama masa pendudukan Indonesia, pemerintah Indonesia melalui ABRI terus memburu sisa-sisa pasukan Fretilin yang merubah strategi perangnya menjadi gerilya di desa-desa. Di wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaan Fretilin, pasukan Indonesia mengepung dan memutuskan jalur logistik ke daerah tersebut, padahal yang berada di daerah itu bukan hanya Fretilin melainkan terdapat banyak masyarakat sipil yang tidak bersalah atau mungkin tidak memihak Fretilin. Banyak masyarakat yang mati kelaparan karena aktivitas blokade yang menyebabkan kelaparan paksa oleh militer Indonesia. Selain blokade, pasukan Indonesia juga diketahui menggunakan senjata kimia berupa bom napalm (bom api) untuk menghanguskan seluruh desa menggyang dijatuhkan dari pesawat tempur. Unsur kimia yang terlepas dari bom tersebut juga mematikan tanaman-tanaman yang tumbuh disekitarnya, sehingga benar-benar tidak ada lagi bahan makanan untuk pasukan Fretilin beserta penduduk lokal.
Di luar desa-desa yang menjadi basis Fretilin dimana pasukan Indonesia mengepung secara membabi buta tanpa memperhatikan kondisi masyarakat sipil, di kota-kota besar pemerintah Indonesia menggelontorkan dana yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur dan pendidikan Timor Timur, dana yang dikucurkan bahkan dua kali lebih besar dari dana pembangunan seluruh Jawa. Pemerintah Indonesia memberlakukan hukum tanah di Indonesia kepada Timor Timur. Walaupun banyak dana yang dialirkan untuk pembangunan Timor Timur, ada sisi negatif dari pembangunan yang hebat yaitu opresi atau penekanan pemerintah terhadap kebebasan bagi masyarakat sipil begitu kuat dan brutal (rezim Orde Baru memang dikenal dengan rezim oppressor). Kekuatan ABRI dengan dwi-fungsinya sangat fenomenal selama pendudukan Timor Timur, dimana pejabat-pejabat militer dijadikan pejabat pemerintahan di Timor Timur, penggunaan kekuatan untuk menebar terror dan menyebarkan pengaruh terlalu sering terjadi. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengangkat kaum pro-integrasi menjadi pasukan sipil (semacam pertahanan sipil), yang alih-alih menjaga keamanan, mereka justru sering menjadi dalang dari aksi-aksi cowboy di jalanan Timor Timur yang malah memperkeruh keadaan masyarakat. Penangkapan-penangkapan dan penghilangan paksa intelektual Timor Timur yang dianggap mengancam juga sering terjadi, pada kenyataannya penangkapan dan penghilangan paksa sering disalah gunakan untuk lawan politik atau untuk menebar teror.
Penekanan-penekanan oleh aparat keamanan Indonesia membuat stigma masyarakat Timor Timur terhadap Indonesia menjadi buruk, layaknya kita (bangsa Indonesia) memandang Belanda pada masa revolusi kemerdekaan. Kekejaman aparat militer mencapai klimaksnya pada insiden Dili atau pembantaian Santa Cruz tahun 1991, dimana tantara Indonesia menembaki secara membabi buta demonstran mahasiswa Timor Timur di Tempat Pemakaman Umum Santa Cruz hingga menewaskan sekitar 250 mahasiswa dan melukai lebih dari 300 mahasiswa. Peristiwa itu menjadi pukulan keras bagi pemerintah Indonesia yang seakan-akan hilang kendali terhadap institusi militernya. Dunia Internasional mengarahkan mata ke Timor Timur dan mulai mendukung kemerdekaan rakyat Timor Timur serta mengutuk pendudukan Indonesia. Pada tahun 1999 setelah mendapat kecaman dan desakan dari berbagai negara dan PBB, Indonesia di bawah kepemimpinan Habibie menggelar Referendum Timor Timur. Hasilnya? Sekitar 75% memilih menentukan nasib sendiri dan 25% memilih integrasi dengan Republik Indonesia.
Dominasi pemilih kemerdekaan, nampaknya adalah buah dari opresi/penekanan yang brutal dan ketidak adilan pemerintah Indonesia dalam menangani Timor Timur. Jika waktu dapat diputar, seharusnya pemerintah Indonesia dalam menjalankan kampanye militer terhadap Fretilin, lebih menghormati dan memperhatikan nyawa masyarakat sipil, sehingga stigma masyarakat terhadap Indonesia bisa jadi tidak seburuk yang terjadi pada kenyataan. Pembangunan infrastruktur dan pendidikan harusnya adil dan tidak terpusat, masyarakat lokal juga perlu diberi kesempatan untuk menjabat jabatan-jabatan tinggi dan memerintah wilayahnya sendiri menggunakan otonomi khusus, ketimbang dikuasai oleh pejabat militer. Hal demikian harus diwujudkan dalam sebuah upaya integrasi, karena kunci keberhasilan dari integrasi adalah mengambil hati rakyat, dimana indikasinya adalah mereka merasa lebih nyaman di bawah Republik Indonesia. Jika demikian, ketika Refendum digelar mungkin hasilnya akan berbeda drastis.

Referensi:
Indrawan, Jerry. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik di Timor-Timur sebelum Kemerdekaannya dari Indonesia. Diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=379446&val=6056&title=Analisis%20Faktor-faktor%20Penyebab%20Terjadinya%20Konflik%20di%20Timor%20Timur%20sebelum%20Kemerdekaannya%20dari%20Indonesia. (1/4/2017)
Kebijakan Pemerintah Terhadap Timor Timur. Diunduh dari http://e-journal.uajy.ac.id/367/2/1MIH01521.pdf. (1/4/2017)
Invasi Indonesia dan Kelaparan Paksa di Timor Timur. https://indoprogress.com/2013/08/invasi-indonesia-dan-kelaparan-paksa-di-timor-timur/ (1/4/2017)

0 komentar: