e-mail: unpadhistorian15@gmail.com

Pentingnya Film Dalam Sejarah dan Politik

Oleh: Fahmi Rizqi
180310150067
Image result for film

Film Sebagai Agen
Banyak kalangan berpendapat bahwa belajar sejarah merupakan sesuatu hal yang membosankan untuk diikuti. Sejarah seringkali diidentikan dengan gaya mengajar pengajar yang membuat siswa atau pendengarnya menjadi suntuk, bosan, bahkan mengantuk. Sejarah juga hanya sekadar sarana menghafal tempat, tanggal, tahun, dan nama orang saja bagi beberapa kalangan.Apabila anggapan ini terus dibiarkan maka sejarah hanya akan menjadi peristiwa yang diingat-ingat saja tanpa bisa dimaknai dan dipahami apa yang terjadi dalam peristiwanya (Notosusanto,1985) . Pendapat-pendapat seperti ini tampaknya muncul karena teknik atau cara pengajar sejarah yang hanya mengandalkan media tertentu seperti buku dan cerita tetapi media berbentuk visualnya masih kurang ditampilkan sehingga gambaran tentang peristiwa sejarah itu sendiri kurang terbayangkan oleh subjek yang mempelajari sejarah itu.
Salah satu media yang dapat dimanfaatkan untuk belajar sejarah secara visual adalah film.Menurut Peter Saixes, Sejarawan Universitas Columbia British, banyaknya siswa melihat masa lalu melalui film akan meningkatkan rasa empati terhadap sejarah. Saat ini sudah banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang diceritakan melalui film atau film yang berlatar sejarah pada periode tertentu. Produsen film baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri dapat memberi gambaran yang cukup baik mengenai sejarah di suatu daerah atau tempat, tokoh – tokoh yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana alur kisahnya berjalan sesuai faktanya.
Sejarah yang difilmkan biasanya ada yang ditampilkan secara detail dan ada pula yang menampilkan latar sejarahnya saja sedangkan ceritanya sendiri adalah fiksi (rekaan). Peristiwa nyata yang difilmkan akan menggiring penontonnya ke dalam suasana yang dibawa pengarah film tersebut. Penonton yang terbawa suasana akan merasakan dan memahami bagaimana si tokoh utama menjalankan kehidupannya pada masa itu. Seperti halnya film sejarah bertema Perang Dunia II , yang dirilis pada 1998 silam, Saving Private Ryan, menggambarkan prajurit Amerika Serikat/Sekutu harus secara terpaksa atau sukarela ikut dalam pertempuran di pantai Normandy, Prancis atau yang dikenal dengan peristiwa “D-Day” pada 6 Juni 1944. Penggambaran prajurit yang tegang, takut, gugup, dan rindu rumah digambarkan sangat baik oleh sang sutradara, Steven Spielberg.
Rasa simpati penonton juga akan mengarah kepada seorang ibu yang harus melepas keempat anak laki-lakinya turun ke medan pertempuran. Ironisnya lagi, ketiga anak lelakinya yang bermarga Ryan ini akhirnya tewas di tiga tempat yang berbeda sedangkan putra bungsunya yang menjadi sosok sentral di film ini belum diketahui keberadaannya. Letak keberadaannya yang tidak diketahui inilah yang menjadi inti film yang meraih penghargaan Academy Awards atau Oscars tahun 1999 tersebut. Pemerintah AS menugaskan kapten John H. Miller dan pasukannya yang berjumlah delapan orang untuk mencari di mana keberadaan Ryan. Miller dan pasukannya pun menimbang perintah tersebut karena keinginan mereka untuk memperoleh tiket pulang setelah usaha menaklukkan Jerman di sana terpenuhi. Akan tetapi, rasa iba Kapten Miller kepada sang ibu yang telah kehilangan ketiga anaknya membuat dirinya terdorong untuk mencari Ryan dan mengirimnya pulang ke AS. Ryan berhasil ditemukan Miller dan pasukannya ketika serangan tank Jerman mencoba menyerang mereka. Ryan yang juga berada di sana menembak tank tersebut menggunakan basoka dan Miller dapat lolos dari ancaman Jerman. Secara mengejutkan Ryan menolak ajakan Miller untuk kembali ke AS karena ia dan teman – temannya ditugaskan menjaga sebuah jembatan dari serangan pasukan Jerman di daerah Alamo. Jerman yang datang menyerang membuat Miller ikut mempertahankan jembatan Alamo bersama Ryan dan yang lainnya. Pertempuran diantara keduanya menghasilkan korban jiwa di pihak AS dimana Kapten Miller akhirnya meninggal karena tertembak tentara Jerman sedangkan Ryan selamat. Ryan mengingat sungguh – sungguh ucapan Miller saat itu yang berkata kepadanya, “earn this...”.
Dari potongan isi film Saving Private Ryan dapat dilihat bahwa cerita Kapten Miller berusaha menemukan keberadaan Ryan adalah rekaan sementara latar atau setting yang dipakai dalam film adalah peristiwa D-Day. Penggabungan kedua unsur ini mengarahkan penonton agar mampu membayangkan situasi dan kondisi tentara yang turun ke medan perang. Selain itu, melalui film ini pula nilai – nilai simpati terhadap sesama dimunculkan, keteguhan dalam melaksanakan tugas, rasa mementingkan diri sendiri yang harus dipinggirkan untuk kepentingan bersama, dan loyalitas terhadap tim atau kelompok. Dengan demikian, film tidak hanya menampilkan peristiwa sejarah namun juga nilai - nilai sosial di dalamnya untuk menarik orang menerapkan kebaikan dari sesuatu yang telah menjadi kewajibannya.
Film Sebagai Media Propaganda
Menurut KBBI, Propaganda, bermakna penerangan yang bertujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Peran film dianggap sangat berguna dalam suatu pemerintahan yang menginginkan mereka dipandang sebagai penguasa yang perkasa. Film sebagai sarana propaganda sudah diperhatikan sejak Adolf  Hitler dan Partai Nazinya menguasai Jerman pada tahun 1933 - 1945. Hitler bersama petinggi partai seperti Joseph Goebbels dan Hans Traub memandang film sesuatu yang vital karena Hitler dalam bukunya yang berjudul Mein Kampf sendiri berkata bahwa film dapat menyampaikan pesan secara lebih baik dan lebih cepat sementara Traub dalam esainya, The Film as a  Political Instrument, berkata bahwa film memiliki kekayaan tak terperanai untuk menciptakan emosi-emosi tertentu. Jumlah film yang diproduksi rezim Nazi pada waktu itu menyentuh 1090 film, yang diproduksi antara tahun 1933 – 1945. Pada masa menjelang kejatuhan Jerman dalam Perang Dunia II tahun 1945 , Nazi masih memproduksi film sebanyak 6 buah.
Di dalam negeri sendiri, propaganda pemerintah melalui film juga sangat gencar dilakukan pada masa Orde Baru (1966 – 1998). Film – film pada masa Orba diproduksi oleh PFN (Perum Produksi Film Negara) dan film yang dirilisnya antara lain, Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1981), dan Pemberontakan G30S/PKI (1984). Tokoh yang biasanya menjadi tokoh sentral biasanya militer dengan segala semangat patriotiknya kepada bangsa dan negara. Citra militer yang baik harus selalu dikedepankan karena memang jabatan – jabatan strategis di pemerintahan dikuasai kalangan militer.
Daftar Sumber:
Sumber Internet
“What Do Students Learn From Historical Features Film”. http://teachinghistory.org.( Diakses pada April 2017)
Anugrah,Dea.“Film dan Propaganda”. https://tirto.id. (Diakses pada 2 April 2017)
Goodell,Sean.”Cinema as a Propaganda During the Third Reich”. epubs.utah.edu/index.php/historia/article/download/627/487 (Diakses pada 2 April 2017)






0 komentar: